SISTEM PEMERINTAHAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
Negara Indonesia salah satu negara yang berada di Asia Tenggara, dan menjadi salah satu perintis, pelopor, dan pendiri berdirinya ASEAN. Letak geografis Indonesia yang berada di antara dua samudera yaitu Samudera Pasifik dan Samudera Hindia, serta diapit oleh dua benua, yaitu Benua Asia dan Benua Australia.
Menurut Pasal 1 ayat 1, Indonesia adalah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik. Menurut Undang-Undang Dasar 1945, kedaulatan berada di tangan rakyat, dan dilaksanakan menurut UUD. Sistem pemerintahannya yaitu negara berdasarkan hukum (rechsstaat). Dengan kata lain, penyelenggara pemerintahan tidak berdasarkan pada kekuasaan lain (machsstaat). Dengan berlandaskan pada hukum ini, maka Indonesia bukan negara yang bersifat absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas). Semenjak lahirnya reformasi pada akhir tahun 1998, bangsa dan negara Indonesia telah terjadi perubahan sistem pemerintahan Indonesia, yaitu dari pemerintahan yang sentralistik menjadi desentralisasi atau otonomi daerah.
Setelah ditetapkannya UUD No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah, serta UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Pemerintahan Negara yang Bebas KKN, otonomi daerah ditegakkan di Indonesia.
Sistem pemerintahan negara Indonesia dapat diartikan dalam dua bagian, yaitu dalam arti sempit dan dalam arti luas. Dalam arti sempit pemerintahan terdiri dari lembaga eksekutif saja, yaitu :
- Tingkat pusat. Meliputi presiden dan wakil presiden, menteri-menteri dan instansi yang berada dalam ruang lingkupnya.
- Tingkat daerah meliputi :
- Provinsi terdiri dari gubernur dan wakil gubernur yang dibantu oleh dinas-sinas
- Kota dan kabupaten dipimpin oleh walikota dan wakil walikota atau bupati dan wakil bupati, dibantu oleh dinas-dinas, camat, lurah atau kepala desa, serta rw, rt atau kadus.
Sedangkan dalam arti luas dalah meliputi semua alat kelengkapan negara, yaitu MPR, DPR, DPD, Presiden dan Wapres, BPK, MA, MK, KY, dan lembaga khusus (KPK, KPU, dan Bank Sentral)
Di Indonesia alat kelengkapan negara terdiri dari :
- Eksekutif, pada tingkat pusat dikepalai oleh Presiden dan wapres. Sedangkat tingkat provinsi oleh gubernur dan wagub, untuk tingkat berikutnya pemerintahan kota dipimpin oleh walikota dan wawako serta kabupaten oleh bupati dan wabub. Tugas pokok dari lembaga ini adalah melaksanakan Undang-Undang.
- Legislatif, yang meliputi DPR, DPRD provinsi, DPRD kota/kabupaten serta DPD. Tugas alat kelengkapan ini adalah untuk membuat undang-undang.
- Konstitutif, lembaga ini adalah penjelmaan dari penggabungan kekuatan dari lembaga legislatif. Jika DPR dan DPD mengabungkan diri dan bersidang sesuai UU, maka akan terbentuk MPR. MPR memfunyai banyak tugas dan yang terpenting adalah mengubah dan menentapkan UU.
- Auditatif atau BPK adalah lembaga yang berwenang menaudit kondisi keuangan negara. Hasil pengawasan ini akan dilaporkan kepada DRP untuk dipelajari.
- Yudikatif, Lembaga yudikatif terdiri dari MA, MK, dan KY. Setiap lembaga-lembaga itu memiliki fungsi masing-masing sesuai UU. MA berfungsi mengadili perkara pada tingkat kasasi dan menguji produk hukum dibawah UU. Sedangkan MK memiliki fungsi menguju produk hukum diatas UU dan membubarkan parpol. Sementara KY berguna untuk menentukan calon hakim agung.
Dalam pemerintahan RI jika presiden mangkat atau berhalangan maka wapres yang menggantikannya. Tetapi jika keduanya berhalangan atau mangkat maka terdapat 3 menteri yang harus menggantikanya secara bersamaan, yaitu mendagri, menlu, dan menhankam dalam tenggat waktu diatur oleh UU. Masa jabat seorang presiden atau wakil presiden adalah 5 tahun atau 1 periode. Baik presiden maupun wapres dapat dipilih kembali untuk masa jabat yang sama juga hanya untuk 1 periode. Jadi presiden dan wapres dapat memangku jabatan yang sama untuk 2 periode.
Indonesia sendiri tidak selalu menganut sistem pemerintahan Presidensial seperti sekarang ini. Sebelum ini Indonesia sempat menganut sistem pemerintahan Parlementer. Berikut adalah kronologisnya.
- Tahun 1945-1949
Sistem Pemerintahan : Presidensial
Semula sistem pemerintahan yang digunakan adalah presidensial tetapi sebab kedatangan sekutu (agresi militer) dan berdasarkan Maklumat Presiden no X tanggal 16 November 1945 terjadi pembagian kekusaaan dimana kekuasaan eksekutif dipegang oleh Perdana Menteri maka sistem pemerintahan indonesia menjadi Sistem Pemerintahan Parlementer.
- Tahun 1949-1950
Sistem Pemerintahan : Quasy Parlementer
Bentuk pemerintahan Indonesia saat itu adalah serikat dengan konstitusi RIS sehingga sistem pemerintahan yang digunakan adalah parlementer. Namun karena tidak seluruhnya diterapkan maka Sistem Pemerintahan saat itu disebut Quasy Parlementer
- Tahun 1950-1959
Sistem Pemerintahan: Parlementer
- Tahun 1959-1966
Sistem Pemerintahan: Presidensial
Presiden mengeluarkan Dekrit Presiden 1959 yang isinya
- Tidak berlakunya UUDS 1950 dan berlakunya kembali UUD 1945.
- Pembubaran Badan Konstitusional
- Membentuk DPR sementara dan DPA sementara
- Tahun 1966-1998
Sistem Pemerintahan: Presidensial
HUBUNGAN PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH
Sebagai negara yang besar dan terdiri dari lautan dan daratan, dalam melaksanakan kebijakan pemerintahan. Negara Indonesia mengunakan beberapa konsep yang menghubungkan tata kerja antara pemerintah pusat dengan pemerintahan daerah.
- Asas Sentralisasi
Negara kesatuan dengan asas sentralisasi adalah negara yang segala sesuatunya langsung diatur dan diurus oleh Pemerintah Pusat sendiri, termasuk segala sesuatu yang menyangkut pemerintah dan kekuasaan daerah (negara tidak melakukan pembagian tugas).
Keuntungan dari asas ini adalah.
- dapat menghemat biaya
- adanya keseragaman peraturan
- adanya kemajuan yang merata
Sedangkan kelemahan dari sistem ini adalah sebagai berikut :
- birokrasi yang bertele-tele
- terhambatnya demokrasi
- daerah tidak bertanggung jawab terhadap daerahnya sendiri
- Asas Desentralisasi
Asas desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada Daerah Otonom dalam kerangkam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Keuntungan menggunakan asas desentralisasi adalah sebagai berikut :
- daerah diberi wewenang membuat peraturan sendiri sesuai dengan daerahnya, terutama dalam menunjang kemajuan
- pengurusannya jauh lebih efisien dan efektif
- bertele-telenya birokrasi menjadi berkurang
- daerah dapat mengembangkan peraturan dan pembangunan selama tidak bertentangan dengan undang-undang dan kebijakan pusat
- Asas Dekosentrasi
Asas dekosentrasi adalah pelimpahan wewenang dari pemerintahan pusat kepada gubernur sebagai wakil pemerintah dan atau perangkat pusat di daerah. Dalam asas ini urusan-urusan yang dilimpahkan oleh pemerintah pusat kepada pejabat-pejabat di daerah menjadi tanggung jawab pemerintah pusat, baik tentang sarana prasarana, pelaksanaan maupun pembiayaannya.
- Asas Tugas Perbantuan (medebewind)
Tugas perbantuan adalah penugasan dari pemerintah pusat kepada daerah dan desa dan dari daerah ke desa, untuk melaksanakan tugas tertentu yang diserta dengan pembiayaan, sarana dan prasarana serta sumber daya manusia. Dalam hal pertanggung jawaban maka mereka harus mempertanggung jawabkan kerjanya kepada yang menugaskan.
- Otonomi Daerah
Otonomi Daerah adalah kewanagan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyrakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Dalam melaksanakan otonomi daerah di daerah otonom dilengkapi dengan perangkat-perangkat seperti pada bagan 3.
Permasalahan Demokrasi di Indonesia
Demokrasi dipandang sebagai sebagai sesuatu yang penting karena nilai-nilai yang dikandungnya sangat diperlukan sebagai acuan untuk menata kehidupan berbangsa dan bernegara yang baik. Demokrasi merupakan alat yang dapat digunakan untuk mewujudkan kebaikan bersama, atau masyarakat dan pemerintahan yang baik (good society and good government). Kebaikan dari sistem demokrasi adalah kekuasaan pemerintah berasal dari rakyat, baik secara langsung maupun perwakilan. Secara teoritis, peluang terlaksananya partisipasi politik dan partisipasi warga negara dari seluruh lapisan masyarakat terbuka lebar. Masyarakat juga dapat melakukan kontrol sosial terhadap pelaksanaan pemerintahan karena posisi masyarakat adalah sebagai pemegang kedaulatan tertinggi.
Namun dalam praktek atau pelaksanaan demokrasi khususnya di Indonesia, tidak berjalan sesuai dengan teori yang ada. Demokrasi yang dilaksanakan di Indonesia belum mampu mewujudkan kesejahteraan rakyat secara menyeluruh. Partisipasi warga negara dalam bidang politik pun belum terlaksana sepenuhnya. Untuk memaparkan lebih lanjut, permasalahan demokrasi yang ada perlu dikelompokkan lagi menjadi tiga hal, yaitu dari segi teknis atau prosedur, etika politik, serta sistem demokrasi secara keseluruhan.
Dari segi teknis atau prosedur, demokrasi di Indonesia sesungguhnya sudah terlaksana. Hal ini dapat dibuktikan dengan terlaksananya pemilu pada tahun 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, 2004 dan 2009 untuk pemilihan calon legislatif (Pileg) dan pemilihan calon presiden dan wakil presiden (Pilpres). Bahkan, pemilu Indonesia tahun 1999 mendapat apresiasi dari dunia internasional sebagai Pemilu pertama di era Reformasi yang telah berlangsung secara aman, tertib, jujur, adil, dan dipandang memenuhi standar demokrasi global dengan tingkat partisipasi politik ketika itu adalah 92,7%.
Namun sesungguhnya pemilu 1999 yang dipandang baik ini mengalami penurunan partisipasi politik dari pemilu sebelumnya yaitu tahun 1997 yang mencapai 96,6 %. Tingkat partisipasi ppolitik di tahun berikutnya pun mengalami penurunan, dimana pada pemilu tahun 2004, tingkat partisipasi politik mencapai 84,1 % untuk pemilu Legislatif, dan 78,2 % untuk Pilpres. Kemudian pada pemilu 2009, tingkat partisipasi politik mencapai 10,9 % untuk pemilu Legislatif dan 71,7 % untuk Pilpres.
Menurunnya angka partisipasi politik di Indonesia dalam pelaksanaan pemilu ini berbanding terbalik dengan angka golput (golongan putih) yang semakin meningkat. Tingginya angka golput ini menunjukkan apatisme dari masyarakat di tengah pesta demokrasi, karena sesungguhnya pemilu merupakan wahana bagi warga negara untuk menggunakan hak pilihnya dalam memilih orang-orang yang dianggap layak untuk mewakili masyarakat, baik yang akan duduk di kursi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), maupun Presiden dan Wakil Presiden.
Hak untuk memilih atau mengemukakan pendapat tergolong sebagai Hak Asasi Manusia yang pelaksanaannya dijamin dalam UUD 1945 Pasal 28E ayat (3). Tingginya angka golput mungkin berasal dari pandangan masyarakat yang memandang bahwa hak asai manusia merupakan suatu kebebasan, yang dalam hal ini adalah kebebasan untuk menggunakan hak pilihnya ataupun tidak. Memang tidak ada aturan atau hukum yang menjerat bagi orang-orang yang tidak turut serta berpartisipasi politik dalam pemilu, namun apabila terus dibiarkan angka golput terus meningkat. Hal ini menimbulkan kekhawatiran terhadap demokrasi Indonesia yang akan semakin tidak berkualitas akibat rendahnya partisipasi dari para warganya.
Yang kedua adalah demokrasi dipandang dari segi etika politiknya. Secara subtantif pengertian etika politik tidak dapat dipisahkan dengan subyek sebagai pelaku etika yaitu manusia. Oleh karena itu etika politik berkait erat dengan bidang pembahasan moral. Hal ini berdasarkan kenyataan bahwa pengertian moral senantiasa menunjuk kepada manusia sebagai subyek etika. Walaupun dalam konteks politik berkaitan erat dengan masyarakat, bangsa dan negara, Etika politik tetap meletakkan dasar fundamental manusia sebagai manusia. Dasar ini lebih meneguhkan akar etika politik bahwa kebaikan senantiasa didasarkan kepada hakikat manusia sebagai makhluk yang beradab dan berbudaya.
Masih mengambil contoh yang sama yaitu mengenai pemilihan umum, dimana pemilihan umum yang seharusnya terjadi sebagaimana tercantum dalam Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 adalah pemilihan umum secara langsung dan umum, sera bersifat bebas, rahasia, jujur, dan adil. Namun bagaimanakah etika politik dari para aktor dalam pemilihan umum, khususnya calon pemerintah dan calon wakil rakyat di Indonesia ?
Pemilihan umum di Indonesia merupakan arena pertarungan aktor-aktor yang haus akan popularitas dan kekuasaan. Sebagian besar petinggi pemerintahan di Indonesia adalah orang-orang yang sangat pandai mengumbar janji untuk memikat hati rakyat. Menjelang pemilihan umum, mereka akan mengucapkan berbagai janji mengenai tindakan-tindakan yang akan mereka lakukan apabila terpilih dalam pemilu, mereka berjanji untuk menyejahterakan rakyat, meringankan biaya pendidikan dan kesehatan, mengupayakan lapangan pekerjaan bagi rakyat, dan sebagainya. Tidak hanya janji-janji yang mereka gunakan untuk mencari popularitas di kalangan rakyat melalui tindakan money politics.
Perbuatan tersebut adalah perbuatan yang tidak bermoral dan melanggar etika politik. Hak pilih yang merupakan hak asasi manusia tidak bisa dipaksakan oleh orang lain, namun melalui money politics secara tidak langsung mereka mempengaruhi seseorang dalam penggunaan hak pilihnya. Selain itu, perbuatan para calon petinggi pemerintahan tersebut juga melanggar prinsip pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Tindakan mempengaruhi hak pilih seseorang merupakan perbuatan yang tidak jujur, karena jika rakyat yang dipengaruhi tersebut mau memilihnya pun hanya atas dasar penilaian yang subyektif, tanpa memandang kemampuan yang dimiliki oleh calon tersebut. Tindakan ini juga merupakan persaingan yang tidak sehat dan tidak adil bagi calon lain yang menjadi pesaingnya.
Apabila calon petinggi pemerintahan yang sejak awal sudah melakukan persaingan tidak sehat tersebut berhasil menduduki jabatan pemerintahan, tentu sangat diragukan apakah ia dapat menjalankan pemerintahan yang bersih atau tidak. Terbukti dengan begitu banyaknya petinggi pemerintahan di Indonesia saat ini, khususnya mereka yang duduk di kursi DPR sebagai wakil rakyat, yang terlibat kasus korupsi. Ini adalah buah dari kecurangan yang mereka lakukan melalui money politics dimana mereka sudah mengeluarkan begitu banyak dana demi membeli suara rakyat, sehingga ketika mereka berkuasa mereka akan cenderung memanfaatkan kekuasaannya yang antara lain bertujuan untuk mengembalikan uang yang telah mereka keluarkan tersebut.
Tidak hanya korupsi, sikap atau perilaku keseharian para wakil rakyat tersebut juga tidak menunjukkan etika politik yang baik sebagai seseorang yang seharusnya mengayomi dan menjadi penyambung lidah rakyat demi mencapai kesejahteraan rakyat. Mereka kehilangan semangat dan tekad untuk membela rakyat yang bertujuan pada tercapainya kesejahteraan rakyat, yang mereka ungkapkan ketika masih menjadi calon wakil rakyat. Mereka kehilangan jatidiri sebagai seorang pemimpin dan justru menyalahgunakan kepercayaan rakyat terhadap mereka demi kepentingan pribadi dan kelompok. Terbukti banyak anggota DPR yang menginginkan gaji tinggi, adanya berbagai fasilitas dan sarana yang mewah yang semuanya itu menghabiskan dana dari rakyat, dalam jumlah yang tidak sedikit. Hal ini tidak sebanding dengan apa yang telah mereka lakukan, bahkan untuk sekedar rapat saja mereka tidak menghadiri dan hanya titip absen, atau mungkin hadir namun tidak berpartisipasi aktif dalam rapat tersebut. Sering diberitakan ada wakil rakyat yang tidur ketika rapat berlangsung.
Terakhir atau yang ketiga adalah permasalahan demokrasi dipandang dari segi sistemnya secara keseluruhan, mencakup infrastruktur dan suprastruktur politik di Indonesia. Infrastruktur politik adalah mesin politik informasl berasal dari kekuatan riil masyarakat, seperti partai politik (political party), kelmpok kepentingan (interest group), kelompok penekan (pressure group), media komunikasi politik (political communication media), dan tokoh politik (political figure). Disebut sebagai infrastruktur politik karena mereka termasuk pranata sosial dan yang menjaid konsen masing-masing kelompok adalah kepentingan kelompok mereka masing-masing.
Sedangkan suprastruktur politik (elit pemerintah) merupakan mesin politik formal di suatu negara sebagai penggerak politik formal. Kehidupan politik pemerintah bersifat kompleks karena akan bersinggungan dengan lembaga-lembaga negara yang ada, fungsi, dan wewenang/kekuasaan antara lembaga yang satu dengan yang lainnya. Dalam perkembangan ketatanegaraan modern, pada umunya elit politik pemerintah dibagi dalam kekuasaan eksekutif (pelaksana undang-undang), legislatif (pembuat undang-undang), dan yudikatif (yang mengadili pelanggaran undang-undang), dengan sistem pembagian kekuasaaan atau pemisahan kekuasaan.
Dalam pelaksanaan demokrasi, harus ada hubungan atau relasi yang seimbang antar komponen yang ada. Tugas, wewenang, dan hubungan antar lembaga negara itu pun diatur dalam UUD 1945. Relasi atau hubungan yang seimbang antar lembaga dalam komponen infrastruktur maupun suprasruktur, serta antara infrastruktur dengan suprastruktur akan menghasilkan suatu keteraturan kehidupan politik dalam sebuah negara. Namun tetap saja, penyimpangan dan permasalahan itu selalu ada dalam kehidupan masyarakat yang beragam dan senantiasa berubah seiring waktu.
Dalam lembaga legiflatif (DPR) misalnya, sebagai lembaga yang dipilih oleh rakyat, dan kedudukannya adalah sebagai wakil rakyat yang sebisa mungkin harus memposisikan diri sebagai penyambung lidah rakyat, megingat pemegang kekuasaan tertinggi dslam negara demokrasi adalah rakyat (kedaulatan rakyat). Namun dalam pelaksanaannya, lembaga negara tidak memposisikan diri sebagai penyampai aspirasi rakyat dan representasi dari kehendak rakyat untuk mencapai kesejahteraan, namun justru lembaga negara tersebut sebagai pemegang kekuasaan dalam sebuah negara, dan rakyat harus tunduk terhadap kekuasaan tersebut.
Contoh lain adalah dalam lembaga yudikatif, atau lembaga yang bertugas mengadili terhadap pelanggaran undang-undang. Hukum di Indonesia adalah hukum yang tumpul ke atas namun tajam ke bawah. Siapa yang punya uang, tentu akan mengalami hukuman yang ringan meskipun melakukan kesalahan yang besar. Sebaliknya, apabila tidak punya uang, dia tidak bisa berkutik dengan hukuman yang dijatuhkan padanya meskipun kesalahan yang dilakukan tergolong ringan. Bukti bahwa hukum Indonesia bisa dibeli adalah adanya hakim yang tertangkap akibat menerima suap untuk meringankan kasus yang sedang ia tangani. Atau contoh lain adalah seorang pejabat tinggi pemerintahan yang sedang menjalani hukuman, namun dapat dengan mudah keluar masuk penjara dengan berbagai alasan atau kepentingan, dan tentu saja hal ini tidak bisa dilakukan oleh rakyat kecil.
Permasalahan yang terkait dengan komponen infrastruktur politik belum efektifnya peran lembaga-lembaga tersebut demi kepentingan rakyat, dan terkadang justru pelaksanaannya hanya demi kepentingan kelompok atau individu. Dalam hal kebebasan pers misalnya, meskipun sudah dijamin dalam UUD 1945 namun pelaksanaannya belum sepenuhnya efektif. Contohnya adalah adanya wartawan yang meliput kasus atau persoalan publik, justru diculik, dianiaya, atau bahkan dibunuh.
Selain itu, partai politik telah beralih fungsi dari lembaga demokrasi menjadi lembaga yang yang mirip dengan perusahaan, dengan tujuan memperoleh keuntungan. Terbukti dengan keterlibatan partai politik dalam berbagai kasus korupsi, transaksi-transaksi politik dalam pemilihan daerah, serta money politics. Partai politik juga menjadi rumah bagi orang-orang tertentu yang mengejar popularitas dan kekuasaan, serta untuk menguasai sumber daya alam tertentu. Komersialisasi partai politik ini juga terlihat dalam kaderisasinya, dimana banyak anggota partai politik yang direkrut adalah pengusaha-pengusaha, yang sebenarnya hanya dijadikan tunggangan agar partai politik tersebut dapat dengan mudah memperoleh dana, misalnya dari adanya proyek-proyek.
Permasalahan-permasalahan demokrasi yang terjadi di Indonesia ini harus segera ditangani karena sudah mencapai titik kritis. Apabila dibiarkan tanpa ada upaya penyelesaian, demokrasi di Indonesia akan mati, dan negara Indonesia justru mengarah pada negara dengan pemerintahan yang otoriter. Kedaulatan rakyat tidak lagi berlaku, aspirasi rakyat melalui kebebasan pers terlalu dibatasi. Bahkan lembaga yang bertugas sebagai penyampai aspirasi rakyat seperti DPR dan partai politik telah beralih fungsi menjadi lembaga yang menjadi rumah bagi pihak-pihak yang menginginklan popularitas, kekuasaan, dan kekayaan.
KESIMPULAN
Indonesia adalah negara yang pernah mengalami berbagai perubahan sistem pemerintahan, mulai dari parlementer hingga presidensial yang dianut sekarang ini. Perubahan-perubahan itu terjadi tak lain untuk menemukan sistem pemerintahan yang dianggap paling cocok dengan bentuk negara Indonesia yang berbentuk kepulauan. Pada akhirnya sejarah membuktikan bahwa negara kesatuan dengan sistem pemerintahan presiedensial adalah bentuk yang paling tepat untuk negara Indonesia yang penduduknya tersebar di berbagai pulau di dalam negara ini dan terbagi dalam beragam suku bangsa.
Sistem pemerintahan di Indonesia sendiri bukan tanpa masalah. Sejarah membuktikan bahwa sistem pemerintahan presidensial ini seringkali disalah gunakan seperti pengangkatan presiden seumur hidup pada zaman Ir. Soekarno, atau pemerintahan yang cenderung otoriter seperti pada pemerintahan Soeharto. Bahkan di masa sekarang pun masih banyak permasalahan di sistem pemerintahan kita yang berkedaulatan rakyat ini.
Dalam sistem pemilu yang merupakan ciri pemerintahan berkedaulatan rakyat (demokrasi), di negeri kita ini, sering ditemui kecurangan atau bahkan malah apatisnya para peserta pemilihan umum dikarenakan ketidak percayaan pada pemerintahan yang akan datang. Ketidak percayaan ini tentunya akan mengakibatkan instabilitas politik di masa mendatang dan membahayakan berlangsungnya demokrasi.
Salah satu akibat dari berkurangnya rasa peduli masyarakat terhadap politik di negerinya adalah tidak sesuainya karakter pemimpin yang saat ini memerintah dengan apa yang diharapkan oleh rakyat. Hal ini tentu saja menyebabkan rasa tidak percaya masyarakat meningkat kepada pemerintah dan akan ada kemungkinan menghilangkan semangat demokrasi dari negeri ini.
Isi bacaan di atas, sebagaimana dikutip dari:
hguntoro11.blogspot.com/…/sistem–pemerintahan-negara-republik.html
http://sistempemerintahan-indonesia.blogspot.com/2013/03/sistem-pemerintahan-indonesia.html
http://politik.kompasiana.com/2013/05/11/permasalahan-demokrasi-di-indonesia-559279.html
(Dengan perubahan seperlunya)
Nama : Diah Sulistiyanti
NPM : 42214964
Kelas : 1DA02
Mata Kuliah : Pendidikan Kewarganegaraan
Dosen : Ahmad Nasher