Stolen Songbird: Pilihan Tak Pernah Mudah

cover stolen songbird

Identitas Buku

Judul                           : Stolen Songbird

Pengarang                   : Danielle L. Jensen

Penerbit di Indonesia  : Fantasious

Tebal                           : 496 halaman + iv halaman

Desain Cover              : Yhogi Yordan

Penerjemah                  : Nadya Andwani

Penyunting                  : Mery Riansyah

Proofreading               : Lucy Riu

 

 

 

 

Mata biru dan rambut merah

Kunci dari gairah

Suara bak malaikat dan tekad kukuh

Dan penyihir gelap akan bersimpuh

Kematian mengikat dan ikatan mematahkan

Matahari dan rembulan bersatu demi keselamatan

Pangeran kegelapan, putri terang

Ikatan membawa ajal penyihir menjelang

Tarikan napas pertama mereka

Kala pertama penyihir terjerumus nestapa

Persatukan dua nama dalam syair

Dan kutukan pun berakhir

 

Dua belas larik ramalan kuno itu menjadi awal mula cerita dari Stolen Songbird, buku pertama dari malediction Trilogy karya Danielle L. Jensen. Dikisahkan lewat ramalan berbentuk puisi tersebut, bangsa Troll mencari-cari gadis yang dimaksud di dalam sana dan menemukan Cecile de Troyes, sang tokoh utama, yang dinilai memenuhi kriteria.

Dikarenakan kutukan yang tak bisa membuat mereka keluar dari kota mereka yang terkubur di bawah gunung, para troll menggunakan semacam agen manusia untuk menculik Cecile. Agen tersebut adalah Luc, bajingan yang cukup terkenal di Goshawk’s Hollow. Dengan cara paksa yang menyebabkan Cecile menderita luka di beberapa bagian tubuh, Luc membawa Cecile jauh ke dalam tanah. Di sanalah untuk pertama kalinya Cecile bertemu makhluk macam apa yang disebut Sluag itu.

Setelah perjalanan melelahkan yang menghancurkan gaun dan terpaksa membuatnya hanya memakai pakaian dalam saja, Cecile sampai di kota Trollus dan dipertemukan dengan keluarga Montigny, keluarga kerajaan di sana.

Tanpa panjang-panjang, keluarga kerajaan berniat mempertalikan Cecile dengan pangeran angkuh, bermulut pedas, dan keras kepala sekaligus pewaris takhta kerajaan, pangeran Tristan. Cecile jelas menolak pertalian ini, namun ia dihadapkan dengan dua pilihan sulit: setuju dipertalikan atau mati dibunuh secara sadis oleh para troll yang menganggap manusia hanya sederajat lebih tinggi daripada hewan.

Inilah topik utama yang dibahas di novel ini: pilihan. Selalu tersedia pilihan bagi Cecile, tetapi pilihan itu berujung sama: mati secara menyakitkan dan pelan-pelan atau sengsara seumur hidup. Segalanya terasa sama bagi Cecile. Hidupnya berubah menjadi derita, atau itulah yang ia pikir akan terjadi bila ia tidak segera bertindak memperjuangkan kebebasannya.

Meski sudah dipertalikan sekalipun, Cecile tidak pernah berhenti berusaha membebaskan dirinya dari kungkungan abadi kota Trollus. Ia mencoba mulai dari kabur pelan-pelan hingga menggunakan jalan sungai untuk melarikan diri, namun hasilnya selalu gagal. Bahkan ia diancam oleh raja untuk dikurung di dalam peti sempit di mana ia hanya bisa berdiri di dalamnya kalau ia tidak juga akrab dengan Tristan, suami barunya.

Namun tidak melulu nasib buruk menima Cecile. Di kota Trollus ia mendapat orang-orang yang bisa ia panggil teman, mulai dari Marc, Zoe dan Elise, sampai Tips sang penambang. Lebih dari teman, Cecile merasa mereka adalah teman seperjuangan, teman senasib. Itu sebabnya Cecile kini tak lagi hanya memperjuangkan kebebasannya, tapi juga kebebasan teman-temannya serta para budak yang sudah menderita selama berabad-abad di bawah kaki para troll bangsawan.

Keputusan tersebutlah yang membawa masalah baru bagi Cecile. Ia yang tidak tahu apa-apa soal politik Troll harus dihadapkan pada politik kejam, manipulatif dan hanya mementingkan kepentingan pribadi saja.

Kepolosan Cecile diceritakan tanpa berbelit-belit. Lugas dan tegas, itulah kesan yang akan kita dapatkan di sepuluh halaman pertama novel ini. Kita akan melihat betapa tidak berdayanya manusia di hadapan kekuatan Troll. Tidak ada adegan kebetulan atau kejaiban di sini. Semua terjadi dengan ada sebabnya. Cecile belajar semua dari awal dan mengatasi segala kesulitan dengan segala kemampuannya yang terbatas. Ia harus merayap-rayap di dinding gua untuk menghindari kejaran Sluag, menolong seseorang yang terkena racun dengan cara manual, dan bahkan harus belajar sihir manusia dari dasar, tidak langsung menjadi kuat. Tidak ada gaya bahasa cengeng di sini—bukan berarti tidak ada adegan menangisnya, justru banyak lho adegan Cecile menangis atau hampir menangis, maksudnya gaya bahasa cengeng, kalian tahulah—Namun hal itu tidak membuat novel ini kaku seperti makalah. Pengarang membuat kelugasan di dalam novel ini mengalir lembut dengan gaya bahasanya yang puitis.

Semua hal di dalam novel ini: latar, sifat tokoh, dan suasana dibawakan dengan teknik show dan bukannya tell. Semua dibawakan dengan gaya bahasa orisinil yang membuat setiap detilnya mengaduk emosi pembaca. Kita akan dibawa kesal, marah, sedih, iba, terharu, dan senang di setiap lembar.

Dari segi cover, saya pribadi lebih jatuh cinta dengan desain cover dalam negeri. Bebeda dari cover aslinya yang memperlihatkan Cecile (saya yakin itu Cecile) memegang setangkai mawar merah muda yang terbuat dari kaca dalam balutan gaun hijau zamrud, cover dalam negeri lebih menekankan pemandangan kota Trollus. Di sana kita bisa melihat gelapnya kota Trollus di bawah reruntuhan Gunung Terlupakan, dinaungi oleh pohon sihir dan dibalut oleh cahaya-cahaya Troll yang merupakan penerangan utama di gua gelap dan lembap itu. Di setiap bab akan ada pula gambar tentang kota Trollus. Tidak seperti cover depan yang menyorot kota dari atas, gambar di setiap bab menyorot kota Trollus dari balik sisi sungai, seolah siapapun yang melukis gambar itu telah melihat kota itu secara sembunyi-sembunyi dari balik sebuah batu di seberang sungai.

Sayangnya kualitas terjemahan masih kurang, di mana ada beberapa kata-kata rumit yang sulit dimengerti orang awam dan tak adanya catatan kaki untuk menjelaskan istilah-istilah kurang umum di telinga membuat kita harus membuka kamus dulu untuk mencari arti dari istilah itu.

Namun semua itu tidak mengurangi kualitas buku ini. Saya setuju sekali dengan nilai 4,5 yang diraih novel ini di Goodreads. Benar-benar nilai yang pantas. Endingnya pun pas untuk suasana novel ini yang memang selalu diliputi kesuraman. Tak sabar rasanya menunggu sekuelnya: The Hidden Huntress yang akan terbit sekitar Maret tahun depan. Semoga buku keduanya terbit cepat di Indonesia J

 

Jurnal reader #4: Tiger’s Quest

Oke, sekarang aku membaca buku Tiger’s Quest yang merupakan buku kedua seri Tiger Saga.
Sedih harus mengatakan ini, tapi kesan yang kurasakan setelah membaca dua ratus pertama halaman buku ini berputar balik seratus delapan puluh derajat dari buku pertama.
Kalau di buku pertama aku sumringah sendiri, senang, dan menikmati setiap kalimat di bukunya dengan sepenuh hati, di buku kedua ini benar-benar sebaliknya. Ugh… tak ada kata sopan yang bisa mendeskripsikan kebosanan dan kekesalanku saat membaca dua ratus halaman pertama, apalagi saat bagian di mana Kelsey menggoda Ren. Hanya adegan kebersamaan keluarga angkat Kelsey, kebersamaannya dengan Li, dan hal-hal berbau keluarga lainnya yang membuatku bertahan pada bagian itu.
Di seratus halaman berikutnya, rasa kesalku semakin menjadi-jadi. Banyak sekali deskripsi tak penting, atau bahkan adegan tak penting yang diungkapkan di buku. Kemudian saat Ren ditangkap pasukan Lokesh, aku langsung bersorak Yes dalam hati. Bahkan diam-diam sisi jahat dalam hatiku berharap adegan penyiksaan Ren ditampilkan dengan detil serinci mungkin dan Kelsey melihat semua kesadisan itu. Ah… aku benar-benar jahat ya?
Mau apa lagi? Aku paling suka melihat Kelsey menangis dan menderita, bukannya bahagia. Bagian dia bahagia, berbunga-bunga, kasmaran, itu bisa diceritakan di bab terakhir buku Tiger Saga ini. Untuk sekarang fokus dulu menyelamatkan Ren dan Kishan dari kutukan. Ugh… aku bahkan terkadang lupa mereka sedang berusaha mengumpulkan empat hadiah durga saking banyaknya deskripsi perasaan Kelsey di sini.
Kurasa aku akan sangat menikmati adegan di mana Ren tidak mengingat Kelsey yang katanya bakal muncul di buku ini. Anak naif dimabuk cinta seperti Kelsey harus diberi cambuk sedikit agar ia tak lupa bahwa cinta yak selamanya indah dan hanya berkutat pada kata “Aku mencintaimu” atau “Aku tak bisa hidup tanpamu”. Keseringan mengucapkan kata-kata manis itu membuatnya terkesan murah dan semakin pudar makna di dalam setiap katanya.

Jurnal Reader #7 The Malediction Trilogy 1: Stolen Songbird

WARNING: TULISAN INI ADA KEMUNGKINAN MENGANDUNG SPOILER. BAGI YANG TIDAK INGIN MEMBACANYA, SILAKAN SEGERA KELUAR DARI HALAMAN INI
Malediction Trilogy #1: Stolen Songbird. Awalnya aku berjengit melihat judul buku yang agak-agak aneh di telingaku. Apa pula Malediction itu? Semua pertanyaan itu muncul saat ada berita dari penerbit lokal bahwa mereka akan menerbitkan sebuah buku karangan Danielle L. Jensen. Buku ini mendapat rating 4.5 di Goodreads. Pencapaian yang tidak biasa. Dan lagi buku ini bercerita tentang Troll. Yah, kalian tahu kan… makhluk besar, hijau, ganar, bermuka seram, buas, jelek, dan tinggal di hutan atau gunung itu?
Aku langsung berpikir, apa yang bisa diceritakan dari makhluk begitu? Lalu aku kaget saat ada yang bilang Pangeran Tristan. Hah? Pangeran? Belum lagi hilang, yang lain mengimbuhi bahwa Tristan adalah Pangeran Troll dari negeri Trollus yang hilang. What?
Troll punya sistem kerajaan? Dan lagi… pangeran? Dari komen-komen setengah histeris yang ditunjukkan padaku, sepertinya pangeran satu ini rada-rada menawan gimana gitu.
Singkat kata, aku kepo berat.
Waktu buku ini resmi terbit di Indonesia, jujur saja keadaan keuanganku sedang memburuk dan kuliahku sedang butuh banyak biaya. Jadilah aku ada di dalam dilema. Tapi masih ada selembar seratus ribuan menganggur di dompetku. Aku punya pilihan yang sulit. Membelanjakannya untuk membeli novel yang menarik perhatianku—artinya juga menambah koleksi buku yang kusembunyikan dari orang tuaku di rumah—atau menukarkannya dengan berlembar-lembar recehan dan berakhir di tangan kumal berminyak para supir angkot yang entah sudah mandi atau belum yang selalu kutemui setiap hari sepulang pulang kuliah.
Saat itulah aku yakin rasa penasaranku benar-benar berbahaya. Itu bisa membunuhku suatu saat nanti.
Nah, sekarang buku itu sudah di tanganku. Aku membuka lembar pertamanya dan langsung bingung oleh bahasa asing yang bukan bahasa Inggris. Aku bahkan bingung di latar mana tempat ini diambil. Butuh beberapa lembar berikutnya bagiku untuk sadar mungkin buku ini mengambil latar di suatu tempat di Prancis berabad-abad sebelum ini, atau mungkin juga di kota fiksi di Prancis, yang mana saja bolehlah.
Namun satu hal yang pasti, buku ini, setiap detilnya, digambarkan dengan teknik Show. Pantaslah aku bingung. Tapi di setiap kebingunganku itu aku menyadari, aku tenggelam dalam bayangan kota Troll yang mematikan dan berbahaya bagi manusia. Setiap kata-katanya memikatku. Aku bisa membayangkan seperti apa rambut Cecile dan seperti apa Tristan. Semuanya tampak nyata.
Oke, sudahan dulu melankolisnya. Sekarang aku akan membahas sudut pandang di buku ini. Tak kusangka buku ini menggunakan POV 1. Cara penceritaan favoritku, dan diungkapkan salam dua sudut pandang berbeda: Cecile dan Tristan. “Yes!” aku bersorak dalam hati.
Tak perlu waktu lama bagiku jatuh cinta pada cerita ini. Tak seperti Tiger Saga yang bahasanya lebih dariskedar mendayu-dayu, bahasa di sini lugas, jelas, dan dibawakan dengan indahnya oleh bahasa sastra yang memukau. Singkat kata, lengkap. Hanya ada tiga bacaan yang mampu membuatku terpukau seumur hidup: Tetralogi Laskar Pelangi, The Secret of Immortals, dan yang terbaru adalah The Malediction Trilogy.
Aku senang dengan bagaimana Miss Danielle menceritakan kisah di novel ini dengan lugas dan tanpa berbelit-belit. Bahkan bagian romantis di novel ini dibuat begitu jujur. Marah adalah marah, kekesalan adalah kekesalan, senang adalah senang, dan kehangata adalah kehangatan. Tak ada klausa “hatiku remuk redam” hanya karena tak diacuhkan, yang ada hanya kekecewaan. Itu mengingatkanku bahwa memang itulah yang seorang wanita rasakan sepahit-pahitnya keadaan. Kami menangis, tapi kami tidak hancur. Kami kecewa, tapi kami tak retak dari ujung kepala hingga ujung kaki. Kalau Kelsey memesonaku karena keberuntungannya, maak Cecile memsonaku dengan caranya berjuang. Kelsey bisa mendapatkan keajaiban karena ada Dewi di sisinya. Tapi Cecile, tak peduli berapa kalipun ia menyebut nama “Tuhan”, ia tak akan bisa menyelamatkan diri bila tak ada usaha dari dalam dirinya. Tak ada kejaiban, tak ada kekuatan magis yang langsung muncul dalam sekejap. Cecile berulang kali harus menelan kekecewaan dan mengalami kepayahan. Dan saat perasaannya mulau berkembag terhadap Tristan, ia mengalami pilihan sulit.
Itulah topik utama di novel ini: Pilihan.
Untuk mengakhiri curhatku yang meaningless soal Stolen Songbird alias “Burung Penyanyi yang Dicuri” (Setelah kucari-cari di kamus, itulah arti harfiahnya, atau setidaknya kupikir begitu)
Aku tak sabar menanti buku keduanya.

Jurnal reader #6: Omen 5: Kutukan Hantu Opera

WARNING: TULISAN INI ADA KEMUNGKINAN MENGANDUNG SPOILER. BAGI YANG TIDAK INGIN MEMBACANYA, SILAKAN SEGERA KELUAR DARI HALAMAN INI
Aku baru saja selesai membaca Omen #5: Kutukan hantu Opera. Harus kukatakan, Kalex mencoba mematahkan garis batas bagi seorang pengarang untuk memaparkan sebuah cerita. Biasanya—umunya, wajarnya—pengarang paling banyak hanya menggunakan tiga sudut pandang dalam menceritakan kisahnya. Tapi Kalex mencoba melampaui itu dengan menuliskan lima sudut pandang, mewakili lima tokoh utama wanita dalam cerita ini. Yah, bukannya itu gagal sih. Malah itu sangat berhasil.
Ia membawakan kisah kelima Omen series ini sama seperti sebelumnya, hanya saja… aku masih sulit membedakan mana sifat Aya dan Rima. Mereka berdua punya sifat yang hampir mirip. Untuk Putri dan Erika, well… mereka hanya berbeda di satu aspek: Erika punya pembendaharaan sumpah serapah yang lebih banyak ketimbang Putri.
Meski agak bingung dengan banyaknya sudut pandang dan mencium adanya usaha ekstra dari Kalex untuk membuat setiap tokohnya memiliki peran di sini, aku tetap enjoy saja membaca buku ini.
Walau agak kecewa karena misteri yang dihasilkan agak tenggelam oleh drama masing-masing tokohnya, aku lebih dari terpuaskan dengan misteri yang terungkap di buku ini. Banyak yang tak pernah terpikirkan olehku akan ada di buku ini. Semua tokoh memang punya porsi tampilan dan fungsi sendiri dalam cerita ini. Tak ada yang tak penting, um… kecuali untuk Pak Rufus dan Bu Rita yang memang sepertinya hanya wara-wiri di setiap sekuel saja sih. Hehe… :p
Yang tak kusangka, ternyata ada benang merah yang menghubungkan masing-masing tokoh. Dan yang membuatku lega adalah, sifat Valeria membaik di akhir buku ini. Aku lega. Setidaknya rasa kesalku dengan tuan puteri-tak-mau-diatur itu akan sedikit berukurang. Tapi aku jadi bertanya-tanya, apa itu akan mengubah keputusannya tentang Leslie?
Untuk Erika sendiri, well karena dia bukan pemecah kasus utama dalam sekuel ini, porsinya sedikit dikurangi. Agak berat hati juga sih. Erika itu karakter favoritku setelah Rima. Menghabiskan satu bab tanpa sumpah serapah darinya seperti makan nasi goreng tanpa kerupuk, habis sih… tapi ada apa gitu yang kurang.
Pputri Badai punya tempat tersendiri di sini. Oke, sekarang aku jadi menyukainya. Selain tempramennya yang sama buruk dengan Erika—dia akan jadi kembaran Erika seandainya mulutnya itu hobi ber-gue-elo ria, lebih mirip dibanding kembaran Erika sendiri, Eliza—Putri angkuh serba bisa menyuruh orang apa saja itu ternyata tetaplah manusia biasa. Ia bisa menangis, kesepian, merana, dan bisa merasa lemah juga. Bukannya ia tak pernah lelah, ia hanya tak mau menunjukkan itu di depan lebih dari puluhan orang yang bisa menusuknya dari belakang kapan saja. Yang pernah melihat sosok lemahnya selain keluarga tentu saja adalah Aya dan Rima. Aku tersentuh oleh perasaan Putri yang diaduk-aduk oleh Damian, tapi tetap saja… tak ada yang bisa mengalahkan rasa sukaku pada pairing nomor satu di novel ini, alias Erika Guruh dan Viktor Yamada.
Pokoknya, bagi para penggemar Omen Series, jangan melewatkan sekuel yang satu ini deh. Itu kalau tak mau speechless saat membaca sekuel keenamnya yang masih dalam wishlistku.

Jurnal Reader #5: Omen 4: Malam Karnaval Berdarah

WARNING: TULISAN INI ADA KEMUNGKINAN MENGANDUNG SPOILER. BAGI YANG TIDAK INGIN MEMBACANYA, SILAKAN SEGERA KELUAR DARI HALAMAN INI

Omen ke-4 sudah rampung kubaca. Oke, tak banyak aku akan berkomentar di halaman ini, terutama karena sekuel Omen yang satu ini dipenuhi adegan romantis yang bukan jadi favoritku, terutama di saat hatiku sedang ingin menyaksikan aksi berdarah-darah sadis, jadi aku tidak ingin panjang lebar soal romantisme itu.

Hal pertama yang akan kubahas di sini adalah sudut pandang. Di sekuel ini, Kalex mereduksi sudutpandang menjadi dua orang saja, yaitu Daniel Yusman dan Rima Hujan. Preduksian ini membuat cerita jadi lebih fokus, lebih intim, dan membuat para pembaca bisa lebih menyelami pikiran tokoh-tokoh yang diceritakan. Meski sempit, jumlah sudut pandang ini yang paling kusukai dari sekian banyak novel. Sempit, tapi tak menutup mata dan telingaku dari apa yang terjadi di sekitar.

Cerita kali ini menarik karena selama ini cara berpikir Daniel tak pernah dijabarkan secara mendetail. Ternyata Daniel lumayan manis juga kalau bertutur kata. Rima juga ternyata pribadi lembut yang lemah tak berdaya, namun berusaha dengan apa saja yang ia punya untuk tetap kuat dan bertahan. Gadis yang jadi favoritku.

Ngomong-ngomong, muncul tokoh antagonis kita di sekuel ini. Eng ing eng, dialah Eliza Guruh yang sudah lama tak terdengar kabarnya sejak akhir buku pertama. Belum lagi masalah karena di evil twin kembali, Nikki yang bermulut bak kuchisake onna pun menambah ruyam masalah. Gadis manipulatif itu seperti punya motif tertentu di balik semua tindak-tanduknya.

Sayangnya, kejahatan yang sepertinya cuma menang heboh doang dan drama yang porsinya ekstra banget di sekuel ini membuatku rada bosen membacanya. Untung Rima yang dibahas, kalau Valeria, mungkin akan butuh waktu satu bulan bagiku untuk merampungkan novel ini. Cara berpikir Rima bagiku adalah penyegar di drama ini. Dia polos, jujur, dan gadis yang paling sopan tata bahasanya dari kelima tokoh utama perempuan di novel ini.

Oke, singkat kata, pasangan ini jadi pasangan favoritku yang lain setelah Erika dan Viktor. Tapi aku penasaran dengan hubungan Aya dan OJ. Apakah masih akan berlanjut?