WARNING: TULISAN INI ADA KEMUNGKINAN MENGANDUNG SPOILER. BAGI YANG TIDAK INGIN MEMBACANYA, SILAKAN SEGERA KELUAR DARI HALAMAN INI
Aku baru saja menghabiskan novel Tiger Saga #1: Tiger’s Curse dalam waktu hanya dua hari. Bayangkan, enam ratus halaman dalam dua hari? Itu rekor baru untukku. Belum lagi kali ini aku memberikan apresiasi tertinggiku untuk sebuah buku: menahan diri untuk tak membuka halaman terakhir kecuali itu adalah ucapan terima kasih atau biografi pengarang. Ketahuilah, bahkan Harry Potter pun tak bisa membuatku melakukan ini. Namun Tiger’s Curse bisa membuatku melakukannya. Kedengaran hebat kan?
Yah, sebenarnya memang hebat. Aku sudah mencari buku ini sejak hampir setahun lalu sejak pertama kali melihatnya di situs web mizan fantasi, tapi begitu lihat bulan terbitnya, aku meringis sendiri. Saat itu sudah masuk akhir 2013, dan buku itu sudah tenggelam di daftar bawah. Kemungkinan besar buku itu sudah didepak dari toko buku dan masuk gudang.
Maka, satu-satunya cara bagiku adalah belanja online. Tapi bagiku yang belum tahu apa-apa waktu itu, belanja online terasa sangat riskan. Kuputuskan untuk menahan dan menghibur diri: “Mungkin akan dicetak ulang atau akan ada obralan.”
Tapi sudah hampir setahun aku menunggu, tak kunjung ada obralan. Sedangkan, dari teman-teman di grup facebook asyik curhat mengenai kehebatan buku itu. Review dan rating tinggi buku itu di goodreads membuat … kalau diibaratkan ilerku sudah membentuk air terjun (jorok ya?) saking kepengennya sama buku itu.
Kemudian, saat ada bazar buku di Mizanstore, aku memutuskan: “Ini mungkin kesempatan terakhir. Sekarang atau tidak sama sekali.” Maka kubulatkan tekadku (kebetulan juga uangku sedang banyak) untuk membeli buku Tiger’s Curse mumpung sepertinya tak ada yang melirik buku itu.
Ternyata perjuanganku belum selesai. Karena kesalahanku sendiri, paket itu terlambat datang sampai sepuluh hari. Maaf segenap kakak-kakak di Mizanstore, karena saya sudah merepotkan dan memberondong kakak-kakak semua dengan beragam pertanyaan yang itu-itu aja. Aku beruntung karena kakak-kakak di Mizanstore ternyata ramah-ramah.
Akhirnya hari Selasa 9 September 2014 kurang lebih pukul 11.30, buku Tiger’s Curse sampai dalam keadaan selamat dan bagus ke rumahku. Jujur saja, aku seperti joker sejak hari itu, maksudku tak pernah berhenti tersenyum. Bahkan di depan ibuku, aku harus menahan diri agar tak tersenyum. Mau apa lagi? Petualangan Kelsey dan Dhiren memang memesona. Aku merasa kisah ini memang pantas membuatku menghindari semua tontonan Bollywood dan satu sinetron lokal beberapa minggu belakangan karena mengangkat tema tentang harimau dan india: dua tema yang paling kuhindari untuk mencegah momen garuk tembok (Bisa-bisa aku dikira orang gila)
Setiap halaman buku itu memesona. Mulai dari kesendirian Kelsey hingga petualangan cinta pertamanya. Semakin jauh membuka halaman, aku merasa semakin mirip Kelsey. Bukan dalam nasib baik, tentu. Orang seperti Dhiren tak akan pernah ada di muka bumi ini, jadi yep kalian benar. Aku dan Kelsey punya kesamaan nasib buruk. Rasanya aku ikut merasakan nyeri yang sama saat Kelsey menjauhi Dhiren karena tak mau merasa kehilangan. Ia merasa Dhiren terlalu indah untuk jadi kenyataan. Ia merasa seperti dirinya berasal dari dunia nyata dan Dhiren dari dunia dongeng yang menawan. Tak mungkin bersatu.
Aku tahu banyak pembaca yang mulai menganggap Kelsey bodoh karena menolak Kishan, berlagak munafik dengan mengaku tak cantik padahal sudah diingatkan ribuan kali sampai berbusa-busa oleh Dhiren dan Kishan bahwa dia memang cantik, dan terus menerus mengecewakan Dhiren. Tapi hei, kalau kalian punya berbagai macam kekurangan di tubuh, tak pernah punya pacar seumur hidup, tak pernah dekat dengan laki-laki mana pun kecuali anggota keluarga, hanya punya beberapa teman yang bahkan tak bisa dipanggil sahabat, dan punya pengalaman buruk soal cinta, kalian akan memahaminya.
Aku punya semua kekurangan Kelsey. Aku punya semua pengalaman buruknya, kecuali kedua orang tua yang telah tiada. Yah, apa bedanya? Meski mereka ada, aku juga selalu sendirian di rumah. Kami berdua sama-sama tak pernah mengecap yang namanya cinta kepada kekasih, hanya pernah mengecap kasih sayang sesama keluarga dan hanya itu saja. Perasaan sayang terhadap kekasih itu jauh lebih rumit dan sekali tenggelam ke dalamnya, rasanya sulit untuk bangun atau berpikir tenang.
Aku paham bagaimana dilema Kelsey.
Begini, bayangkan bila kau adalah perempuan paling tak menarik di sekolah, di rumah, dan di lingkungan. Seumur hidup kau berusaha untuk tak diperhatikan dengan berpakaian biasa, menutup diri, dan menghindari tatapan semua orang—bersikap sinis bila mendapat tatapan intens dari lawan jenis, karena punya trauma cinta—dan itu berhasil. Tak ada yang menoleh kepadamu selama belasa tahun. Kau pun tak punya teman untuk mencurahkan semua kesepian itu secara pribadi. Rasanya benar-benar sepi. Kemudian, tiba-tiba hadir seseorang yang begitu sempurna dan orang bagai malaikat dari surga itu mengatakan dia mencintai kita. Mustahil dan penuh muslihat, bukan, kedengarannya?
Jujur, aku pernah merasakannya dari itu berakhir tak sama seperti Kelsey. Kuyakin Dhiren benar-benar mencintai Kelsey. Sedangkan kisahku berakhir dengan kesalah pahaman yang membuatku patah hati, mengira ada yang menyukaiku.
Kelsey pernah kehilangan kedua orang tuanya di saat muda. Itu akan memunculkan perasaan: “Aku kehilangan orang yang paling aku cintai di saat aku mengira mereka akan bersamaku hingga akhir waktu” dan percayalah, ada trauma di sana. Kelsey menganggap bagaimana bisa dirinya yang biasa-biasa saja menarik perhatian seorang pangeran rupawan serba sempurna? Seperti yang kukatakan: dunia nyata + dunia dongeng = impossible.
Kemudian Kelsey membuat alasan rasional. Berbeda denganku saat menghadapi masalah ini. Dulu aku berpikir laki-laki itu benar menyukaiku dan aku langsung tak bisa berpikir jernih. Kelsey bisa berpikir jernih dengan menepis perasaan itu dengan membisikkan ke hatinya: “Dia tertarik padaku karena dia belum pernah melihat wanita lain yang lebih cantik dan lebih baik dariku. Padahal ada jutaan wanita seperti itu di dunia.” Dan dengan perasaan itu ia meninggalkan Dhiren.
Sayang nasibku tak sebaik dia. Laki-laki yang aku sukai tak pernah menengok padaku sejak dia pergi ke dunia luar dan bertemu banyak gadis yang lebih cantik dan baik daripada aku. Kami pernah dekat karena yah (sekali lagi, senasib dengan Kelsey) dia tak pernah dekat dengan perempuan mana pun sebelum aku. Sampai sekarang aku masih merasakan sakit itu karena ceroboh telah membiarkan diriku terlalu tenggelam dalam perasaan cinta sepihak itu.
Aku tak seberani Kelsey untuk mengungkapkan bahwa aku suka pada laki-laki itu. Ada benteng tak tertembus di antara kami dan benteng itu akan tetap terpasang di antara kami kecuali dalam beberapa kondisi tertentu: sebuah kondisi yang kuyakin mustahil untuk terwujud sepenuhnya. Lagipula aku tak ingin membuatnya dekat denganku karena rasa bersalah. Akan terasa seperti aku mengikatkan belenggu ke lehernya dan menariknya bagai binatang peliharaan sepanjang jalan. Sama seperti Kelsey yang tak ingin Dhiren jadi dekat dengannya hanya karena merasa bertanggung jawab melindunginya demi misi. Ia berusaha menyadarkan Dhiren lebih dulu sebelum dirinya sendiri sadar oleh trauma cinta yang menyakitkan.
Percaya atau tidak, aku paham betul rasa sakit Kelsey saat harus meninggalkan Dhiren setelah mengungkapkan perasaannya. Memang belum pernah menjadi kenyataan, tapi itulah perasaan yang kurasakan setiap kali membayangkan aku mengungkapkan perasaanku kepada laki-laki itu. Kemungkinan respon mana pun takkan membuatku senang dan hanya akan menimbulkan sakit yang sama. Kelsey pun merasakan hal yang sama. Meski banyak yang bilang ia bodoh, menurutku ia hanya bersikap apa adanya. Lebay memang karena hanya untuk mengungkapkan perasaannya saja sampai menghabiskan separuh buku, tapi melihat sikap Kelsey, cara pengarang mendeskripsikan cinta dan romansa di buku ini tanpa membuatku bergidik lantas melempar buku ini ke dinding, adalah luar biasa. Kelsey di mataku adalah perempuan polos yang tak tahu apa-apa soal cinta kepada kekasih. Ia kikuk dalam segala hal di bidang ini. Merasa biasa-biasa saja dan merasa tak pantas untuk Dhiren yang perkasa. Ia bukan kelihatan bodoh, ia memang bodoh untuk bidang ini. Dan bukannya menyebalkan terus menerus bersikap “ aku tak pantas untukmu” sampai ke buku keempat, tapi sekali lagi, kalau kalian punya berbagai keterbatasan dan kekikukkan seperti Kelsey, kalian akan merasakan hal yang sama.
Maaf aku kurang begitu piawai menggambarkan perasaan “kebanting”nya Kelsey karena aku belum pernah merasakan perasaan kebanting itu.
Bagiku dan Kelsey, sudah cukup sakit hati. Sudah cukup kecewa. Jangan banyak berharap. Dan meski akhir kisahku dan Kelsey tak sama, aku tak keberatan membaca kisah teman senasib sampai selesai.
Kalian bisa baca review lengkapku untuk Tiger Saga #1: Tiger’s Curse di postinganku yang lain.