Jurnal Reader #9

novel the real past

WARNING: TULISAN INI ADA KEMUNGKINAN MENGANDUNG SPOILER. BAGI YANG TIDAK INGIN MEMBACANYA, SILAKAN SEGERA KELUAR DARI HALAMAN INI

The Real Past. Dari kata-katanya, kita tidak akan bisa menebak makna novel ini sebenarnya. Tapi bila ditilik dari covernya, maka kita sudah bisa menebak sedikit isi buku ini. Ada gambar gapura, dua orang remaja yang masuk berpuytar ke dalam pusaran berwarna kuning-jingga. Saya menebak ini semacam perjalanan ke masa lalu ke tempat di mana sebuah kerajaan Hindu-Budha kuno masih berdiri di Indonesia

Yap. Saya benar. Buku ini mengisahkan perjalanan dua orang remaja SMA bernama Dara dan Bagus ke kompleks candi peninggalan Majapahit di Trowulan. Karena kenekatan Dara, mereka berdua terbawa arus distorsi ruang dan waktu hingga menyasar ke kerajaan Majapahit di tahun 1498, di masa pemerintahan Girindrawardhana, raja terakhir Majapahit sebelum akhirnya takluk saat masa kerajaan islam di Nusantara.

Jujur saja, saya berdebar-debar membaca novel ini apalagi setelah Dara memasuki distorsi ruang dan waktu dan mendarat di Wilwatikta, ibukota kerajaan Majapahit. Deskripsinya meskipun tak lengkap, sudah mampu memberikan efek tegang, membuat saya bisa berimajinasi tentang seperti apa hutan di masa itu.

Deskripsi yang cukup keren untuk sebuah novel perdana. Saya harus katakan saya salut pada Kak Ayu Dewi. Meski novel ini mengandung romansa, bahasanya dikemas tak terlalu berbunga-bunga. Yah bagi laki-laki pasti masih terlalu lebay. Tapi bagi perempuan seperti saya, perasaan yang dirasakan Dara sangatlah wajar. Masih dalam batas kewajaran, baik perasaan menggebu-gebunya maupun caranya mendeskripsikan perasaan yang dia rasakan saat itu.

Untuk sebuah novel berlatar sejarah yang memadukan unsur teenlit ke dalamnya, saya harus salut. Meski sudah ada yang mengangkat tema serupa, banyak mungkin malah, tema ini sudah jarang dilirik sekarang ini sejak maraknya novel-novel terjemahan yang merajalela. Novelis-novelis kita seolah malu untuk mengangkat tema dalam negeri. Padahal coba bayangkan kalau misalnya di salah satu candi di Trowulan benar-benar ada lorong mirip sumur yang diceritakan di novel? Bukankah itu keren?

Maka dari itu saya sangat merekomendasikan novel ini bagi remaja yang ingin mencoba nuansa baru di pernovelan remaja Indonesia. Saya belum selesai membaca novelnya saat saya menulis post ini, tapi akan segera saya selesaikan dan saya akan tulis pendapat saya selengkapnya berikut reviewnya.

Jurnal Reader #8

cover spora

 

WARNING: TULISAN INI ADA KEMUNGKINAN MENGANDUNG SPOILER. BAGI YANG TIDAK INGIN MEMBACANYA, SILAKAN SEGERA KELUAR DARI HALAMAN INI

 

Spora. Dari judul dan covernya saja kita sudah bisa menebak seperti apa isinya. Yap. Tentang spora jamur yang putih-putih lembut dan selalu banyak tiap muncul hujan itu. Memang tak terlihat, tapi bagi yang geli jamur, pasti langsung bergidik mendengar kata spora. Rasanya langsung gatal-gatal kalau dengar kata jamur.

Dan berhubung sekarang ini (bulan Januari) musim hujan sedang lebat-lebatnya, pas sekali baca novel horor ini. Terasa seramnya.

Dari covernya saja kita sudah bisa menebak. Toh di novelnya juga tertera genre novel ini adalah horor. Dari cover saja mata kita para pecinta horor ini sudah dimanjakan dengan cover bernuansa hitam di atas putih. Tulisan judul yang terbuat dari bintik-bintik hitam menambah kesan horor. Sosok monster yang dalam tahap tansisi yang kelihatan speerti menjerit juga jadi nilai tambah cover ini.

Soal isinya tak pelru diragukan. Saya tak menyesal membeli novel ini. A worth to read! Dua jempol untuk Kak Alkadri! Jantungku berdebar membaca konflik yang kian meningkat. Tapi kok rasanya tak terlalu banyak konflik di awal cerita ya? Memang menegangkan penuh misteri, tapi rasa mendebarkannya itu baru terasa di akhir.

Tapi ending yang pas membuatku tak kecewa sampai berjingjit di toko buku untuk meraih buku ini dari rak tertinggi.

Secara pribadi, aku suka karakter Alif. Dia karakter utama yang gelap, serba tak bisa apa-apa selain bermodalkan keberanian. Dia benar-benar manusiawi. Jauh dari kesempurnaan. Caranya menyampaikan perasaan sama sekali tak bertele-tele. Tak cengeng. Aku suka karakter seperti ini.

Suasana gelap pun mampu dibangun dengan apik oleh Kak Alkadri. Secara singkat, novel ini benar-benar worth to read. Bila di good reads memberi bintang tiga, kali ini saya sependapat. Nilai plus minus lebih jauh akan dibahas di review selengkapnya yang menyusul nanti.

 

 

 

 

Jurnal reader #4: Tiger’s Quest

Oke, sekarang aku membaca buku Tiger’s Quest yang merupakan buku kedua seri Tiger Saga.
Sedih harus mengatakan ini, tapi kesan yang kurasakan setelah membaca dua ratus pertama halaman buku ini berputar balik seratus delapan puluh derajat dari buku pertama.
Kalau di buku pertama aku sumringah sendiri, senang, dan menikmati setiap kalimat di bukunya dengan sepenuh hati, di buku kedua ini benar-benar sebaliknya. Ugh… tak ada kata sopan yang bisa mendeskripsikan kebosanan dan kekesalanku saat membaca dua ratus halaman pertama, apalagi saat bagian di mana Kelsey menggoda Ren. Hanya adegan kebersamaan keluarga angkat Kelsey, kebersamaannya dengan Li, dan hal-hal berbau keluarga lainnya yang membuatku bertahan pada bagian itu.
Di seratus halaman berikutnya, rasa kesalku semakin menjadi-jadi. Banyak sekali deskripsi tak penting, atau bahkan adegan tak penting yang diungkapkan di buku. Kemudian saat Ren ditangkap pasukan Lokesh, aku langsung bersorak Yes dalam hati. Bahkan diam-diam sisi jahat dalam hatiku berharap adegan penyiksaan Ren ditampilkan dengan detil serinci mungkin dan Kelsey melihat semua kesadisan itu. Ah… aku benar-benar jahat ya?
Mau apa lagi? Aku paling suka melihat Kelsey menangis dan menderita, bukannya bahagia. Bagian dia bahagia, berbunga-bunga, kasmaran, itu bisa diceritakan di bab terakhir buku Tiger Saga ini. Untuk sekarang fokus dulu menyelamatkan Ren dan Kishan dari kutukan. Ugh… aku bahkan terkadang lupa mereka sedang berusaha mengumpulkan empat hadiah durga saking banyaknya deskripsi perasaan Kelsey di sini.
Kurasa aku akan sangat menikmati adegan di mana Ren tidak mengingat Kelsey yang katanya bakal muncul di buku ini. Anak naif dimabuk cinta seperti Kelsey harus diberi cambuk sedikit agar ia tak lupa bahwa cinta yak selamanya indah dan hanya berkutat pada kata “Aku mencintaimu” atau “Aku tak bisa hidup tanpamu”. Keseringan mengucapkan kata-kata manis itu membuatnya terkesan murah dan semakin pudar makna di dalam setiap katanya.

Jurnal Reader #7 The Malediction Trilogy 1: Stolen Songbird

WARNING: TULISAN INI ADA KEMUNGKINAN MENGANDUNG SPOILER. BAGI YANG TIDAK INGIN MEMBACANYA, SILAKAN SEGERA KELUAR DARI HALAMAN INI
Malediction Trilogy #1: Stolen Songbird. Awalnya aku berjengit melihat judul buku yang agak-agak aneh di telingaku. Apa pula Malediction itu? Semua pertanyaan itu muncul saat ada berita dari penerbit lokal bahwa mereka akan menerbitkan sebuah buku karangan Danielle L. Jensen. Buku ini mendapat rating 4.5 di Goodreads. Pencapaian yang tidak biasa. Dan lagi buku ini bercerita tentang Troll. Yah, kalian tahu kan… makhluk besar, hijau, ganar, bermuka seram, buas, jelek, dan tinggal di hutan atau gunung itu?
Aku langsung berpikir, apa yang bisa diceritakan dari makhluk begitu? Lalu aku kaget saat ada yang bilang Pangeran Tristan. Hah? Pangeran? Belum lagi hilang, yang lain mengimbuhi bahwa Tristan adalah Pangeran Troll dari negeri Trollus yang hilang. What?
Troll punya sistem kerajaan? Dan lagi… pangeran? Dari komen-komen setengah histeris yang ditunjukkan padaku, sepertinya pangeran satu ini rada-rada menawan gimana gitu.
Singkat kata, aku kepo berat.
Waktu buku ini resmi terbit di Indonesia, jujur saja keadaan keuanganku sedang memburuk dan kuliahku sedang butuh banyak biaya. Jadilah aku ada di dalam dilema. Tapi masih ada selembar seratus ribuan menganggur di dompetku. Aku punya pilihan yang sulit. Membelanjakannya untuk membeli novel yang menarik perhatianku—artinya juga menambah koleksi buku yang kusembunyikan dari orang tuaku di rumah—atau menukarkannya dengan berlembar-lembar recehan dan berakhir di tangan kumal berminyak para supir angkot yang entah sudah mandi atau belum yang selalu kutemui setiap hari sepulang pulang kuliah.
Saat itulah aku yakin rasa penasaranku benar-benar berbahaya. Itu bisa membunuhku suatu saat nanti.
Nah, sekarang buku itu sudah di tanganku. Aku membuka lembar pertamanya dan langsung bingung oleh bahasa asing yang bukan bahasa Inggris. Aku bahkan bingung di latar mana tempat ini diambil. Butuh beberapa lembar berikutnya bagiku untuk sadar mungkin buku ini mengambil latar di suatu tempat di Prancis berabad-abad sebelum ini, atau mungkin juga di kota fiksi di Prancis, yang mana saja bolehlah.
Namun satu hal yang pasti, buku ini, setiap detilnya, digambarkan dengan teknik Show. Pantaslah aku bingung. Tapi di setiap kebingunganku itu aku menyadari, aku tenggelam dalam bayangan kota Troll yang mematikan dan berbahaya bagi manusia. Setiap kata-katanya memikatku. Aku bisa membayangkan seperti apa rambut Cecile dan seperti apa Tristan. Semuanya tampak nyata.
Oke, sudahan dulu melankolisnya. Sekarang aku akan membahas sudut pandang di buku ini. Tak kusangka buku ini menggunakan POV 1. Cara penceritaan favoritku, dan diungkapkan salam dua sudut pandang berbeda: Cecile dan Tristan. “Yes!” aku bersorak dalam hati.
Tak perlu waktu lama bagiku jatuh cinta pada cerita ini. Tak seperti Tiger Saga yang bahasanya lebih dariskedar mendayu-dayu, bahasa di sini lugas, jelas, dan dibawakan dengan indahnya oleh bahasa sastra yang memukau. Singkat kata, lengkap. Hanya ada tiga bacaan yang mampu membuatku terpukau seumur hidup: Tetralogi Laskar Pelangi, The Secret of Immortals, dan yang terbaru adalah The Malediction Trilogy.
Aku senang dengan bagaimana Miss Danielle menceritakan kisah di novel ini dengan lugas dan tanpa berbelit-belit. Bahkan bagian romantis di novel ini dibuat begitu jujur. Marah adalah marah, kekesalan adalah kekesalan, senang adalah senang, dan kehangata adalah kehangatan. Tak ada klausa “hatiku remuk redam” hanya karena tak diacuhkan, yang ada hanya kekecewaan. Itu mengingatkanku bahwa memang itulah yang seorang wanita rasakan sepahit-pahitnya keadaan. Kami menangis, tapi kami tidak hancur. Kami kecewa, tapi kami tak retak dari ujung kepala hingga ujung kaki. Kalau Kelsey memesonaku karena keberuntungannya, maak Cecile memsonaku dengan caranya berjuang. Kelsey bisa mendapatkan keajaiban karena ada Dewi di sisinya. Tapi Cecile, tak peduli berapa kalipun ia menyebut nama “Tuhan”, ia tak akan bisa menyelamatkan diri bila tak ada usaha dari dalam dirinya. Tak ada kejaiban, tak ada kekuatan magis yang langsung muncul dalam sekejap. Cecile berulang kali harus menelan kekecewaan dan mengalami kepayahan. Dan saat perasaannya mulau berkembag terhadap Tristan, ia mengalami pilihan sulit.
Itulah topik utama di novel ini: Pilihan.
Untuk mengakhiri curhatku yang meaningless soal Stolen Songbird alias “Burung Penyanyi yang Dicuri” (Setelah kucari-cari di kamus, itulah arti harfiahnya, atau setidaknya kupikir begitu)
Aku tak sabar menanti buku keduanya.

Jurnal reader #6: Omen 5: Kutukan Hantu Opera

WARNING: TULISAN INI ADA KEMUNGKINAN MENGANDUNG SPOILER. BAGI YANG TIDAK INGIN MEMBACANYA, SILAKAN SEGERA KELUAR DARI HALAMAN INI
Aku baru saja selesai membaca Omen #5: Kutukan hantu Opera. Harus kukatakan, Kalex mencoba mematahkan garis batas bagi seorang pengarang untuk memaparkan sebuah cerita. Biasanya—umunya, wajarnya—pengarang paling banyak hanya menggunakan tiga sudut pandang dalam menceritakan kisahnya. Tapi Kalex mencoba melampaui itu dengan menuliskan lima sudut pandang, mewakili lima tokoh utama wanita dalam cerita ini. Yah, bukannya itu gagal sih. Malah itu sangat berhasil.
Ia membawakan kisah kelima Omen series ini sama seperti sebelumnya, hanya saja… aku masih sulit membedakan mana sifat Aya dan Rima. Mereka berdua punya sifat yang hampir mirip. Untuk Putri dan Erika, well… mereka hanya berbeda di satu aspek: Erika punya pembendaharaan sumpah serapah yang lebih banyak ketimbang Putri.
Meski agak bingung dengan banyaknya sudut pandang dan mencium adanya usaha ekstra dari Kalex untuk membuat setiap tokohnya memiliki peran di sini, aku tetap enjoy saja membaca buku ini.
Walau agak kecewa karena misteri yang dihasilkan agak tenggelam oleh drama masing-masing tokohnya, aku lebih dari terpuaskan dengan misteri yang terungkap di buku ini. Banyak yang tak pernah terpikirkan olehku akan ada di buku ini. Semua tokoh memang punya porsi tampilan dan fungsi sendiri dalam cerita ini. Tak ada yang tak penting, um… kecuali untuk Pak Rufus dan Bu Rita yang memang sepertinya hanya wara-wiri di setiap sekuel saja sih. Hehe… :p
Yang tak kusangka, ternyata ada benang merah yang menghubungkan masing-masing tokoh. Dan yang membuatku lega adalah, sifat Valeria membaik di akhir buku ini. Aku lega. Setidaknya rasa kesalku dengan tuan puteri-tak-mau-diatur itu akan sedikit berukurang. Tapi aku jadi bertanya-tanya, apa itu akan mengubah keputusannya tentang Leslie?
Untuk Erika sendiri, well karena dia bukan pemecah kasus utama dalam sekuel ini, porsinya sedikit dikurangi. Agak berat hati juga sih. Erika itu karakter favoritku setelah Rima. Menghabiskan satu bab tanpa sumpah serapah darinya seperti makan nasi goreng tanpa kerupuk, habis sih… tapi ada apa gitu yang kurang.
Pputri Badai punya tempat tersendiri di sini. Oke, sekarang aku jadi menyukainya. Selain tempramennya yang sama buruk dengan Erika—dia akan jadi kembaran Erika seandainya mulutnya itu hobi ber-gue-elo ria, lebih mirip dibanding kembaran Erika sendiri, Eliza—Putri angkuh serba bisa menyuruh orang apa saja itu ternyata tetaplah manusia biasa. Ia bisa menangis, kesepian, merana, dan bisa merasa lemah juga. Bukannya ia tak pernah lelah, ia hanya tak mau menunjukkan itu di depan lebih dari puluhan orang yang bisa menusuknya dari belakang kapan saja. Yang pernah melihat sosok lemahnya selain keluarga tentu saja adalah Aya dan Rima. Aku tersentuh oleh perasaan Putri yang diaduk-aduk oleh Damian, tapi tetap saja… tak ada yang bisa mengalahkan rasa sukaku pada pairing nomor satu di novel ini, alias Erika Guruh dan Viktor Yamada.
Pokoknya, bagi para penggemar Omen Series, jangan melewatkan sekuel yang satu ini deh. Itu kalau tak mau speechless saat membaca sekuel keenamnya yang masih dalam wishlistku.

Jurnal Reader #5: Omen 4: Malam Karnaval Berdarah

WARNING: TULISAN INI ADA KEMUNGKINAN MENGANDUNG SPOILER. BAGI YANG TIDAK INGIN MEMBACANYA, SILAKAN SEGERA KELUAR DARI HALAMAN INI

Omen ke-4 sudah rampung kubaca. Oke, tak banyak aku akan berkomentar di halaman ini, terutama karena sekuel Omen yang satu ini dipenuhi adegan romantis yang bukan jadi favoritku, terutama di saat hatiku sedang ingin menyaksikan aksi berdarah-darah sadis, jadi aku tidak ingin panjang lebar soal romantisme itu.

Hal pertama yang akan kubahas di sini adalah sudut pandang. Di sekuel ini, Kalex mereduksi sudutpandang menjadi dua orang saja, yaitu Daniel Yusman dan Rima Hujan. Preduksian ini membuat cerita jadi lebih fokus, lebih intim, dan membuat para pembaca bisa lebih menyelami pikiran tokoh-tokoh yang diceritakan. Meski sempit, jumlah sudut pandang ini yang paling kusukai dari sekian banyak novel. Sempit, tapi tak menutup mata dan telingaku dari apa yang terjadi di sekitar.

Cerita kali ini menarik karena selama ini cara berpikir Daniel tak pernah dijabarkan secara mendetail. Ternyata Daniel lumayan manis juga kalau bertutur kata. Rima juga ternyata pribadi lembut yang lemah tak berdaya, namun berusaha dengan apa saja yang ia punya untuk tetap kuat dan bertahan. Gadis yang jadi favoritku.

Ngomong-ngomong, muncul tokoh antagonis kita di sekuel ini. Eng ing eng, dialah Eliza Guruh yang sudah lama tak terdengar kabarnya sejak akhir buku pertama. Belum lagi masalah karena di evil twin kembali, Nikki yang bermulut bak kuchisake onna pun menambah ruyam masalah. Gadis manipulatif itu seperti punya motif tertentu di balik semua tindak-tanduknya.

Sayangnya, kejahatan yang sepertinya cuma menang heboh doang dan drama yang porsinya ekstra banget di sekuel ini membuatku rada bosen membacanya. Untung Rima yang dibahas, kalau Valeria, mungkin akan butuh waktu satu bulan bagiku untuk merampungkan novel ini. Cara berpikir Rima bagiku adalah penyegar di drama ini. Dia polos, jujur, dan gadis yang paling sopan tata bahasanya dari kelima tokoh utama perempuan di novel ini.

Oke, singkat kata, pasangan ini jadi pasangan favoritku yang lain setelah Erika dan Viktor. Tapi aku penasaran dengan hubungan Aya dan OJ. Apakah masih akan berlanjut?

 

Jurnal Reader #3: Tiger’s Curse

 

WARNING: TULISAN INI ADA KEMUNGKINAN MENGANDUNG SPOILER. BAGI YANG TIDAK INGIN MEMBACANYA, SILAKAN SEGERA KELUAR DARI HALAMAN INI

 

Aku baru saja menghabiskan novel Tiger Saga #1: Tiger’s Curse dalam waktu hanya dua hari. Bayangkan, enam ratus halaman dalam dua hari? Itu rekor baru untukku. Belum lagi kali ini aku memberikan apresiasi tertinggiku untuk sebuah buku: menahan diri untuk tak membuka halaman terakhir kecuali itu adalah ucapan terima kasih atau biografi pengarang. Ketahuilah, bahkan Harry Potter pun tak bisa membuatku melakukan ini. Namun Tiger’s Curse bisa membuatku melakukannya. Kedengaran hebat kan?

Yah, sebenarnya memang hebat. Aku sudah mencari buku ini sejak hampir setahun lalu sejak pertama kali melihatnya di situs web mizan fantasi, tapi begitu lihat bulan terbitnya, aku meringis sendiri. Saat itu sudah masuk akhir 2013, dan buku itu sudah tenggelam di daftar bawah. Kemungkinan besar buku itu sudah didepak dari toko buku dan masuk gudang.

Maka, satu-satunya cara bagiku adalah belanja online. Tapi bagiku yang belum tahu apa-apa waktu itu, belanja online terasa sangat riskan. Kuputuskan untuk menahan dan menghibur diri: “Mungkin akan dicetak ulang atau akan ada obralan.”

Tapi sudah hampir setahun aku menunggu, tak kunjung ada obralan. Sedangkan, dari teman-teman di grup facebook asyik curhat mengenai kehebatan buku itu. Review dan rating tinggi buku itu di goodreads membuat … kalau diibaratkan ilerku sudah membentuk air terjun (jorok ya?) saking kepengennya sama buku itu.

Kemudian, saat ada bazar buku di Mizanstore, aku memutuskan: “Ini mungkin kesempatan terakhir. Sekarang atau tidak sama sekali.” Maka kubulatkan tekadku (kebetulan juga uangku sedang banyak) untuk membeli buku Tiger’s Curse mumpung sepertinya tak ada yang melirik buku itu.

Ternyata perjuanganku belum selesai. Karena kesalahanku sendiri, paket itu terlambat datang sampai sepuluh hari. Maaf segenap kakak-kakak di Mizanstore, karena saya sudah merepotkan dan memberondong kakak-kakak semua dengan beragam pertanyaan yang itu-itu aja. Aku beruntung karena kakak-kakak di Mizanstore ternyata ramah-ramah.

Akhirnya hari Selasa 9 September 2014 kurang lebih pukul 11.30, buku Tiger’s Curse sampai dalam keadaan selamat dan bagus ke rumahku. Jujur saja, aku seperti joker sejak hari itu, maksudku tak pernah berhenti tersenyum. Bahkan di depan ibuku, aku harus menahan diri agar tak tersenyum. Mau apa lagi? Petualangan Kelsey dan Dhiren memang memesona. Aku merasa kisah ini memang pantas membuatku menghindari semua tontonan Bollywood dan satu sinetron lokal beberapa minggu belakangan karena mengangkat tema tentang harimau dan india: dua tema yang paling kuhindari untuk mencegah momen garuk tembok (Bisa-bisa aku dikira orang gila)

Setiap halaman buku itu memesona. Mulai dari kesendirian Kelsey hingga petualangan cinta pertamanya. Semakin jauh membuka halaman, aku merasa semakin mirip Kelsey. Bukan dalam nasib baik, tentu. Orang seperti Dhiren tak akan pernah ada di muka bumi ini, jadi yep kalian benar. Aku dan Kelsey punya kesamaan nasib buruk. Rasanya aku ikut merasakan nyeri yang sama saat Kelsey menjauhi Dhiren karena tak mau merasa kehilangan. Ia merasa Dhiren terlalu indah untuk jadi kenyataan. Ia merasa seperti dirinya berasal dari dunia nyata dan Dhiren dari dunia dongeng yang menawan. Tak mungkin bersatu.

Aku tahu banyak pembaca yang mulai menganggap Kelsey bodoh karena menolak Kishan, berlagak munafik dengan mengaku tak cantik padahal sudah diingatkan ribuan kali sampai berbusa-busa oleh Dhiren dan Kishan bahwa dia memang cantik, dan terus menerus mengecewakan Dhiren. Tapi hei, kalau kalian punya berbagai macam kekurangan di tubuh, tak pernah punya pacar seumur hidup, tak pernah dekat dengan laki-laki mana pun kecuali anggota keluarga, hanya punya beberapa teman yang bahkan tak bisa dipanggil sahabat, dan punya pengalaman buruk soal cinta, kalian akan memahaminya.

Aku punya semua kekurangan Kelsey. Aku punya semua pengalaman buruknya, kecuali kedua orang tua yang telah tiada. Yah, apa bedanya? Meski mereka ada, aku juga selalu sendirian di rumah. Kami berdua sama-sama tak pernah mengecap yang namanya cinta kepada kekasih, hanya pernah mengecap kasih sayang sesama keluarga dan hanya itu saja. Perasaan sayang terhadap kekasih itu jauh lebih rumit dan sekali tenggelam ke dalamnya, rasanya sulit untuk bangun atau berpikir tenang.

Aku paham bagaimana dilema Kelsey.

Begini, bayangkan bila kau adalah perempuan paling tak menarik di sekolah, di rumah, dan di lingkungan. Seumur hidup kau berusaha untuk tak diperhatikan dengan berpakaian biasa, menutup diri, dan menghindari tatapan semua orang—bersikap sinis bila mendapat tatapan intens dari lawan jenis, karena punya trauma cinta—dan itu berhasil. Tak ada yang menoleh kepadamu selama belasa tahun. Kau pun tak punya teman untuk mencurahkan semua kesepian itu secara pribadi. Rasanya benar-benar sepi. Kemudian, tiba-tiba hadir seseorang yang begitu sempurna dan orang bagai malaikat dari surga itu mengatakan dia mencintai kita. Mustahil dan penuh muslihat, bukan, kedengarannya?

Jujur, aku pernah merasakannya dari itu berakhir tak sama seperti Kelsey. Kuyakin Dhiren benar-benar mencintai Kelsey. Sedangkan kisahku berakhir dengan kesalah pahaman yang membuatku patah hati, mengira ada yang menyukaiku.

Kelsey pernah kehilangan kedua orang tuanya di saat muda. Itu akan memunculkan perasaan: “Aku kehilangan orang yang paling aku cintai di saat aku mengira mereka akan bersamaku hingga akhir waktu” dan percayalah, ada trauma di sana. Kelsey menganggap bagaimana bisa dirinya yang biasa-biasa saja menarik perhatian seorang pangeran rupawan serba sempurna? Seperti yang kukatakan: dunia nyata + dunia dongeng = impossible.

Kemudian Kelsey membuat alasan rasional. Berbeda denganku saat menghadapi masalah ini. Dulu aku berpikir laki-laki itu benar menyukaiku dan aku langsung tak bisa berpikir jernih. Kelsey bisa berpikir jernih dengan menepis perasaan itu dengan membisikkan ke hatinya: “Dia tertarik padaku karena dia belum pernah melihat wanita lain yang lebih cantik dan lebih baik dariku. Padahal ada jutaan wanita seperti itu di dunia.” Dan dengan perasaan itu ia meninggalkan Dhiren.

Sayang nasibku tak sebaik dia. Laki-laki yang aku sukai tak pernah menengok padaku sejak dia pergi ke dunia luar dan bertemu banyak gadis yang lebih cantik dan baik daripada aku. Kami pernah dekat karena yah (sekali lagi, senasib dengan Kelsey) dia tak pernah dekat dengan perempuan mana pun sebelum aku. Sampai sekarang aku masih merasakan sakit itu karena ceroboh telah membiarkan diriku terlalu tenggelam dalam perasaan cinta sepihak itu.

Aku tak seberani Kelsey untuk mengungkapkan bahwa aku suka pada laki-laki itu. Ada benteng tak tertembus di antara kami dan benteng itu akan tetap terpasang di antara kami kecuali dalam beberapa kondisi tertentu: sebuah kondisi yang kuyakin mustahil untuk terwujud sepenuhnya. Lagipula aku tak ingin membuatnya dekat denganku karena rasa bersalah. Akan terasa seperti aku mengikatkan belenggu ke lehernya dan menariknya bagai binatang peliharaan sepanjang jalan. Sama seperti Kelsey yang tak ingin Dhiren jadi dekat dengannya hanya karena merasa bertanggung jawab melindunginya demi misi. Ia berusaha menyadarkan Dhiren lebih dulu sebelum dirinya sendiri sadar oleh trauma cinta yang menyakitkan.

Percaya atau tidak, aku paham betul rasa sakit Kelsey saat harus meninggalkan Dhiren setelah mengungkapkan perasaannya. Memang belum pernah menjadi kenyataan, tapi itulah perasaan yang kurasakan setiap kali membayangkan aku mengungkapkan perasaanku kepada laki-laki itu. Kemungkinan respon mana pun takkan membuatku senang dan hanya akan menimbulkan sakit yang sama. Kelsey pun merasakan hal yang sama. Meski banyak yang bilang ia bodoh, menurutku ia hanya bersikap apa adanya. Lebay memang karena hanya untuk mengungkapkan perasaannya saja sampai menghabiskan separuh buku, tapi melihat sikap Kelsey, cara pengarang mendeskripsikan cinta dan romansa di buku ini tanpa membuatku bergidik lantas melempar buku ini ke dinding, adalah luar biasa. Kelsey di mataku adalah perempuan polos yang tak tahu apa-apa soal cinta kepada kekasih. Ia kikuk dalam segala hal di bidang ini. Merasa biasa-biasa saja dan merasa tak pantas untuk Dhiren yang perkasa. Ia bukan kelihatan bodoh, ia memang bodoh untuk bidang ini. Dan bukannya menyebalkan terus menerus bersikap “ aku tak pantas untukmu” sampai ke buku keempat, tapi sekali lagi, kalau kalian punya berbagai keterbatasan dan kekikukkan seperti Kelsey, kalian akan merasakan hal yang sama.

Maaf aku kurang begitu piawai menggambarkan perasaan “kebanting”nya Kelsey karena aku belum pernah merasakan perasaan kebanting itu.

Bagiku dan Kelsey, sudah cukup sakit hati. Sudah cukup kecewa. Jangan banyak berharap. Dan meski akhir kisahku dan Kelsey tak sama, aku tak keberatan membaca kisah teman senasib sampai selesai.

Kalian bisa baca review lengkapku untuk Tiger Saga #1: Tiger’s Curse di postinganku yang lain.

 

 

 

 

 

 

 

Jurnal Reader #2: Omen 2 by Lexie Xu

Jujur saja, eksptektasiku saat membaca Omen #2: Tujuh Lukisan Horor, jauh lebih besar ketimbang ekspektasiku saat membaca Omen #1. Terutama, karena kulihat kali ini yang menjadi tokoh sentral di sini adalah Valeria Guntur, tokoh yang hanya menjadi tokoh pembantu di seri sebelumnya.

Di seri sebelumnya, aku tertarik dengan cara pandang Valeria dan kemampuan observasinya yang bagus karena hobinya untuk tampil tak mencolok dan lebih memilih diam dan mendengar ketimbang berbicara tak berguna. Di cerita sebelumnya, Valeria itu kaya, berperilaku bak seorang puteri kerajaan terhormat yang rendah hati, dan setia kawan. Di buku ini kit diajak menyelami kehidupan Valeria Guntur lebih dalam, termasuk mengenal seluruh keluarganya.

Itulah awal mula aku membenci tokoh Valeria Guntur.

Mengutip inti perkataan Erika di buku kelime Omen Series: Kutukan Hantu Opera: Valeria itu punya segalanya: ayah yang baik dan peduli padanya (walaupun over protektif) rumah mewah dan kehidupan yang enak, tapi ia mau membuang semua itu hanya demi tingkah kekanak-kanakannya saja. Benar. Ia mengasingkan diir dari ayahnya hanya karena ingin bebas, karena ingin memberontak dari perintah ayahnya. Ia bilang ayahnya diktator. Valeria merasa pilihannya-lah yang benar. Dan itu sifat yang paling kubenci darinya. Kalau memang merasa pilihannya benar, buktikan, bukannya malah ngambek nggak jelas dan kabur dari rumah!

Tapi, di atas semua itu, aku harus salut pada Kalex. Tak banyak pengarang yang bisa membuatku kesal pada satu tokoh di novel. Selama ini baru ada dua pengarang saja termasuk Kalex yang bisa melakukannya. Beliau berhasil membawaku hanyut ke dalam cerita.

Kekesalanku sedikit terobati karena ada sudut pandang Erika di sini dan satu tokoh baru: Rima Hujan. Tokoh yang lebih sering “menampakkan diri” daripada muncul, alias nongol mendadak di belakangmu. Yah mirip-mirip kuntilanak gitu deh. Tapi ia baik dan malah sering menolong Valeria dengan cara tak terduga. Singkat kata, aku jatuh cinta pada tokoh ini.

Karena aku tak mau dan tak punya banyak komen bagus soal Valeria, kucukupkan dulu jurnalku di sini. Sekian.

 

 

 

 

 

 

 

 

Jurnal Reader #1: Omen 1 by Lexie Xu

 

WARNING: TULISAN DI BAWAH INI MENGANDUNG SPOILER, SILAKAN KELUAR DARI HALAMAN INI BILA TIDAK INGIN MENGACAUKAN ACARA MEMBACA ANDA

 

Pertama kali aku melihat buku Omen Series #1: OMEN karya Lexie Xu adalah saat buku itu pertama kali muncul di pasar. Yah, waktu itu aku tak terlalu tertarik dengan buku-buku teenlit, jadi kuabaikan buku itu.

Buku tersebut baru meraih perhatianku saat muncul sekuel keduanya: TUJUH LUKISAN HOROR. Melihat jumlah buku tersebut yang bukan main-main, aku langsung bertanya-tanya: “Sehebat apa buku ini?” Kemudian aku pun membeli keduanya didorong oleh rasa penasaran yang agak-agak berlebihan.

Kebetulan, Omen Series adalah novel teenlit pertamaku. Sebelum-sebelum ini aku hanya membeli novel-novel terjemahan yang bahasanya bisa dikatakan ketinggian untuk anak remaja, alias kategorinya “Young Adult”.

Alhasil saat membaca lembar demi lembar halaman Omen, aku langsung malas membaca lanjutannya. Kata “lho”, “gue”, (maaf) “Bego”, “tolol”, bertebaran di buku itu mewakili gaya cablak Erika Guruh sang tokoh utama di buku pertama. Perasaanku antara ilfeel karena tak pernah menemukan buku dengan gaya bahasa rada-rada unik begitu sekaligus merasa rugi sudah membeli buku itu.

Sempat menganggur hingga enam bulan lamanya tanpa pernah kubuka lagi halamannya, aku mencoba membacanya lagi. Setelah membuka halaman demi halaman, barulah aku belajar bahwa Erika Guruh bukan hanya siswi super tomboy dengan mulut paling blak-blakan di dunia, tapi juga manusia paling tabah dan paling tegar yang pernah kutemui di buku. Ia tak seperti tokoh-tokoh wanita di novel-novel terjemahan yang kebanyakan karakternya standar dibumbui dengan berbagai kekurangan. Ia karakter perempuan tidak biasa yang punya banyak kekurangan dan berhati rapuh karena digerogoti kesepian dan diskriminasi keras dari sekelilingnya, tapi tak pernah sudi mengeluarkan sisi lemah itu di depan siapa pun. Ia lebih memilih menangis sendirian di sudut kamarnya di tengah malam atau di kamar mandi perempuan sambil memeluk lututnya sendiri. Ketegaran itu akhirnya menyentuhku.

Tak pelak lagi, Erika Guruh menarikku ke dalam lembaran-lembaran novel Omen sampai jauh hingga ke halaman akhir. Ia langsung jadi tokoh favoritku dan mulutnya yang blak-blakan itu jadi hiburan tersendiri. Kisah cinta memang kurang disorot di sini, tapi itulah yang membuat kita sensitif bila ada interaksi tokoh bernuansa romantis. Aku tak pernah tahu isi hati seorang Viktor Yamada. Kenapa ia tertarik pada Erika Guruh? Belum ada penjelasan spesifiknya. Tapi berdasarkan teaser yang diberikan Kalex (panggilan akrab untuk Lexie Xu, pengarang Omen Series dan Johan Series) di buku terakhir Omen Series alias di buku ketujuhnya, akan ada sudut pandang Viktor Yamada. Menarik kan? Kita tunggu saja.

Dan kesimpulan dari jurnal readerku yang pertama ini: Omen Series adalah novel teenlit terbaik yang pernah kubaca.