Asura

Asura

Orang-orang bilang, anak itu gila.

Bagaimana tidak? Setiap hari sepulang sekolah, ia berdiri sendirian di depan gerbang, tak peduli meski tinggal ia seorang yang ada di sana atau hari yang mulai menjelang malam. “Menunggu ayah,” jawabnya setiap kali ada orang bertanya, tapi sungguh, tak pernah sekali pun ada yang melihat seperti apa wajah ayahnya. Gosip bilang, ayah gadis itu sudah meninggal. Ia tidak mau menerima kenyataan hingga jadi gila seperti sekarang.

Aku salah satu yang yakin kalau dia gila. Kenapa tidak? Di tengah banyaknya penculikan dan pembunuhan belakangan ini, dia malah kukuh dengan kebiasaannya. Benar-benar sudah gila!

Namun yang terburuk adalah… hari ini aku harus menunggu bersamanya di depan sekolah.

“Ngapain kamu di sini?”

Kok nada bicaranya rada nyolot ya? “Nungguin jemputan. Kamu keberatan, Nadia?”

Sunyi untuk waktu yang lama. “Lo nggak takut?” Anehnya pertanyaan ini keluar dari mulutnya, alih-alih dariku. “Belakangan ini kan banyak penculikan yang kesemua korbannya meninggal dalam kondisi berantakan.”

Astaga! Kenapa sih dia membicarakan itu? Berada di sini bersamanya saja sudah cukup seram, ditambah lagi kemungkinan akan diculik… hii… jangan sampai itu terjadi!

Ketika aku berpikir begitu, sepasang pemuda mampir ke warung di depan sekolah dan mengobrol di sana. Kemudian ada sepsang pemuda yang boncengan, memarkir motornya di dekat kami.

Tunggu sebentar. Ada yang aneh. Kenapa aku merasa sedang diawasi. Aku memandang ketiga orang yang sedang berada paling dekat dengan kami, posisi mereka seperti… mengepung kami. Astaga! Mungkinkah…

Kukerahkan seluruh tenagaku untuk menarik Nadia lari. Kudengar derap lari di belakangku. Gawat! Mereka mengejar!

Aku berlari memutari sekolah, memanjat gerbang belakang. Di belakangku, Nadia terengah-engah. Aku mengulurkan tangan kepadanya. Ia menerima tanganku tanpa banyak protes. Kami melompat turun lalu berlari ke arah toilet perempuan. Di balik salah satu biliknya, kami mengunci diri.

“Kenapa kita lari sih?” tanya Nadia.

“Kamu nggak sadar? Mereka itu ngincar kita. Dua orang yang duduk di motor sama dua yang ada di warung itu.”

Sedetik kemudian, terdengar suara langkah kaki mendekat.

Aku dan Nadia menutup mulut untuk meredam suara napas kami yang terengah-engah, sementara langkah itu terdengar semakin dekat. Di balik toilet yang cukup terang, aku bisa melihat bayangan seseorang beringsut di dekat bilik toilet kami. Ketika orang itu menjauh, aku mengembuskan napas lega.

Rupanya reaksiku terlalu cepat. Pintu toilet dibanting hingga lepas sementara tubuhku didorong keras ke dinding. Kusadari tubuhku melayang hampir satu meter dari lantai. Rasa sakit menyengat bahuku. Aku terperanjat melihat sebuah tombak merah menembus tulang keringku.

“Ika!” Aku menengadah, tak jauh dari Nadia, ada pemuda yang tadi kulihat duduk di warung.

Aku terperanjat saat merasakan tombak merah yang menusuk bahuku berdenyut hidup, bahkan teksurnya seperti daging. Lebih aneh lagi, tombak ini adalah ekor, memanjang dari punggung pemuda itu.

“Andai saja lo nggak ikut campur, bocah ingusan, kalian nggak perlu melihat sosok ini.” Ia menyeringai ke arah Nadia. Gadis itu anehnya tak tampak terkejut.

“Kamu Asura… jadi benar dugaanku,” ucap Nadia.

Wajah pemuda itu juga sama kagetnya sepertiku, tetapi kemudian ia melancarkan serangan kepada Nadia. Gadis itu tak punya banyak waktu menghindar.

“Sepertinya ada yang cukup pintar di sini,” ucapnya. “Mungkin gue bisa sedikit berbaik hati dengan membiarkan kalian mati pelan-pelan.” Apa?!

Baru saja aku ingin bicara, sebuah ekor merah menyerang pemuda itu. Ia mengindar, memutuskan ekor yang menghubungkan dirinya dengan kami, tetapi anehnya ekornya yang menusuk kami tidak lepas. Ia tetap menancap, dan teksturnya mengeras, tidak berdenyut hidup seperti tadi. Aku terkesiap melihat ekor yang menyerang pemuda itu ukurannya dua kali lebih besar.

Ekor itu mencabut dirinya dari tanah. Sesosok bayangan lain hadir di toilet.

“Ba-bagaimana bisa…” Kudengar pemuda itu tergagap. Ia terdengar ketakutan sekali.

Pemuda itu melompat melancarkan serangan. Baru saja ia menerjang ke depan, ekor merah yang lebih besar itu menusuknya telak. Aku memalingkan wajah dengan ngeri saat ekor itu menusuk menembus perut hingga punggung sang pemuda lalu membantingnya ke lantai. Bunyi berderak mengerikan menggema di dalam toilet.

Pemuda itu masih bergerak. Satu ekor lagi muncul dan menusuk tepat ke jantungnya. Ia tak bergerak lagi.

Bayangan baru itu tampak semakin besar, pertanda ia bergerak maju. Jantungku berdegup kencang. Tamatlah kami!

Jantungku rasanya bersembunyi di dalam rongga dada saat wajah seorang lelaki muncul di ambang pintu bilik toilet yang sudah tak berbentuk. Matanya sarat akan kebencian dan amarah. Ia menoleh ke Nadia. Mereka berdua bertatapan. Kemudian wajah pemuda itu melembut.

Ia memegang tombak yang menancap di bahu Nadia. Gadis itu memandang sang pemuda lekat-lekat. “Ayah…”

Hah?

“Jangan bicara dulu!” Tangan pemuda yang dipanggil ayah oleh Nadia itu mencengkram tombak yang menancap di bahu gadis itu. “Tahan ya.”

Nadia menjerit saat tombak itu dicabut peln-pelan dari bahunya. Ia jatuh ke lantai dengan tak berdaya karena kehilangan banyak darah. Ia menoleh padaku, dan pandangan pemuda itu pun jatuh kepadaku.

“Siapa dia?” tanya pemuda itu. “Apa dia salah satu orang yang bilang kamu gila, Nak?”

Jadi dia benar-benar ayah Nadia? Bagaimana mungkin? Umurnya tampak tak terpaut jauh dari kami dan lagi… benda mirip ekor yang ada di tubuhnya itu… apa dia juga… makhluk bernama Asura yang tadi dikatakan Nadia?

“Dia…” Nadia tampak kebingungan menjelaskan, “dia teman Nadia. Dia orang baik.”

Ayah Nadia beringsut menghampiriku. Ia mencengkram tombak yang menancap di bahuku dan menggumamkan pesan yang sama. Aku meringis saat tombak itu dicabut dari bahuku. Ayah Nadia berbaik hati menahan tubuhku agar aku tak jatuh terduduk di atas lubang WC.

Secara bergantian, ayah Nadia membawa aku dan Nadia keluar toilet. Ia meletakkan kami berdua di belakang sekolah. Kurasa ia berpendapat, apa yang ada di depan sekolah tak seharusnya kami lihat karena ada genangan darah di lapangan sekolah tadi. Aku cukup bijak untuk tidak mau tahu dari mana darah itu berasal.

Ayah Nadia berlutut di depan anaknya, merobek sebagian kemeja putihnya. Dengan sobekan itu, ia membalut bahu Nadia, menghentikan perdarahannya. Dengan cara yang sama, ia menghentikan perdarahanku.

Setelah itu, ekor yang tumbuh dari punggung ayah Nadia tiba-tiba putus semua. Ekor itu menggelepar-gelepar sebelum akhirnya mencair, hanya menyisakan cairan merah mirip darah di tanah. Apa yang terjadi?

Mataku bertatapan dengan mata ayah Nadia.

“Sekarang kamu percaya kalau aku punya ayah kan?” Nadia bertanya di sebelahku. Aku mengangguk polos seperti anak TK.

“Om ini… dan orang tadi… sebenarnya apa?” Pertanyaan itu meluncur keluar dari mulutku.

Wajah itu tak lagi lembut. Ia menunduk ke arahku dan aku bisa merasakan hawa membunuh yang mengerikan dari dirinya.

“Kami dijuluki banyak nama, tapi aku lebih suka menyebut ras kami sebagai Asura. Sebagian dari kami adalah predator bagi kalian, tapi jangan khawatir, aku tidak begitu,” jelasnya tenang. “Dan kamu lihat sendiri, penuaanku yang berhenti membuatku tak bisa menunjukkan diri di depan orang banyak. Aku tidak mau putriku difitnah macam-macam.”

Aku hanya bisa membeku saat tangan dingin itu mengangkat daguku. Ia menyeringai mengancam. “Aku rasa kamu mau menjaga rahasia ini, kan, Ika?” Dia tahu namaku!

Aku mengangguk patuh. Saat itulah aku tahu, kehidupanku tidak akan sama lagi.