Jurnal Reader #9

novel the real past

WARNING: TULISAN INI ADA KEMUNGKINAN MENGANDUNG SPOILER. BAGI YANG TIDAK INGIN MEMBACANYA, SILAKAN SEGERA KELUAR DARI HALAMAN INI

The Real Past. Dari kata-katanya, kita tidak akan bisa menebak makna novel ini sebenarnya. Tapi bila ditilik dari covernya, maka kita sudah bisa menebak sedikit isi buku ini. Ada gambar gapura, dua orang remaja yang masuk berpuytar ke dalam pusaran berwarna kuning-jingga. Saya menebak ini semacam perjalanan ke masa lalu ke tempat di mana sebuah kerajaan Hindu-Budha kuno masih berdiri di Indonesia

Yap. Saya benar. Buku ini mengisahkan perjalanan dua orang remaja SMA bernama Dara dan Bagus ke kompleks candi peninggalan Majapahit di Trowulan. Karena kenekatan Dara, mereka berdua terbawa arus distorsi ruang dan waktu hingga menyasar ke kerajaan Majapahit di tahun 1498, di masa pemerintahan Girindrawardhana, raja terakhir Majapahit sebelum akhirnya takluk saat masa kerajaan islam di Nusantara.

Jujur saja, saya berdebar-debar membaca novel ini apalagi setelah Dara memasuki distorsi ruang dan waktu dan mendarat di Wilwatikta, ibukota kerajaan Majapahit. Deskripsinya meskipun tak lengkap, sudah mampu memberikan efek tegang, membuat saya bisa berimajinasi tentang seperti apa hutan di masa itu.

Deskripsi yang cukup keren untuk sebuah novel perdana. Saya harus katakan saya salut pada Kak Ayu Dewi. Meski novel ini mengandung romansa, bahasanya dikemas tak terlalu berbunga-bunga. Yah bagi laki-laki pasti masih terlalu lebay. Tapi bagi perempuan seperti saya, perasaan yang dirasakan Dara sangatlah wajar. Masih dalam batas kewajaran, baik perasaan menggebu-gebunya maupun caranya mendeskripsikan perasaan yang dia rasakan saat itu.

Untuk sebuah novel berlatar sejarah yang memadukan unsur teenlit ke dalamnya, saya harus salut. Meski sudah ada yang mengangkat tema serupa, banyak mungkin malah, tema ini sudah jarang dilirik sekarang ini sejak maraknya novel-novel terjemahan yang merajalela. Novelis-novelis kita seolah malu untuk mengangkat tema dalam negeri. Padahal coba bayangkan kalau misalnya di salah satu candi di Trowulan benar-benar ada lorong mirip sumur yang diceritakan di novel? Bukankah itu keren?

Maka dari itu saya sangat merekomendasikan novel ini bagi remaja yang ingin mencoba nuansa baru di pernovelan remaja Indonesia. Saya belum selesai membaca novelnya saat saya menulis post ini, tapi akan segera saya selesaikan dan saya akan tulis pendapat saya selengkapnya berikut reviewnya.

Jurnal Reader #8

cover spora

 

WARNING: TULISAN INI ADA KEMUNGKINAN MENGANDUNG SPOILER. BAGI YANG TIDAK INGIN MEMBACANYA, SILAKAN SEGERA KELUAR DARI HALAMAN INI

 

Spora. Dari judul dan covernya saja kita sudah bisa menebak seperti apa isinya. Yap. Tentang spora jamur yang putih-putih lembut dan selalu banyak tiap muncul hujan itu. Memang tak terlihat, tapi bagi yang geli jamur, pasti langsung bergidik mendengar kata spora. Rasanya langsung gatal-gatal kalau dengar kata jamur.

Dan berhubung sekarang ini (bulan Januari) musim hujan sedang lebat-lebatnya, pas sekali baca novel horor ini. Terasa seramnya.

Dari covernya saja kita sudah bisa menebak. Toh di novelnya juga tertera genre novel ini adalah horor. Dari cover saja mata kita para pecinta horor ini sudah dimanjakan dengan cover bernuansa hitam di atas putih. Tulisan judul yang terbuat dari bintik-bintik hitam menambah kesan horor. Sosok monster yang dalam tahap tansisi yang kelihatan speerti menjerit juga jadi nilai tambah cover ini.

Soal isinya tak pelru diragukan. Saya tak menyesal membeli novel ini. A worth to read! Dua jempol untuk Kak Alkadri! Jantungku berdebar membaca konflik yang kian meningkat. Tapi kok rasanya tak terlalu banyak konflik di awal cerita ya? Memang menegangkan penuh misteri, tapi rasa mendebarkannya itu baru terasa di akhir.

Tapi ending yang pas membuatku tak kecewa sampai berjingjit di toko buku untuk meraih buku ini dari rak tertinggi.

Secara pribadi, aku suka karakter Alif. Dia karakter utama yang gelap, serba tak bisa apa-apa selain bermodalkan keberanian. Dia benar-benar manusiawi. Jauh dari kesempurnaan. Caranya menyampaikan perasaan sama sekali tak bertele-tele. Tak cengeng. Aku suka karakter seperti ini.

Suasana gelap pun mampu dibangun dengan apik oleh Kak Alkadri. Secara singkat, novel ini benar-benar worth to read. Bila di good reads memberi bintang tiga, kali ini saya sependapat. Nilai plus minus lebih jauh akan dibahas di review selengkapnya yang menyusul nanti.