Review The Real Past

novel the real past

Judul Buku: The Real Past

Pengarang: Ayu Dewi

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama

Tahun Terbit: 2014

Tebal buku: 248 halaman

Distorsi ruang dan waktu. Dara tidak pernah percaya pada mitologi sains semacam itu. Mana ada orang yang bisa berpindah tempat atau waktu dalam sekejap mata? Tak peduli seberapa seru Anin, sahabatnya, bercerita soal pengalaman salah satu teman mayanya yang pernah mengalami distorsi tersebut, Dara tak tertarik. Hingga dirinya mengalami hal itu sendiri.

Yep, Dara mengalami distorsi ruang dan waktu ke masa Majapahit, tepatnya di masa raja terakhir Majapahit, Raja Girindrawardhana, memerintah. Tepatnya di tahun 1498. Dara, berdua dengan temannya, Bagus, terdampar di Wilwatikta, ibukota Kerajaan Majapahit.

Hampir saja mereka ditangkap pasukan kerajaan karena dikira penyusup atau mata-mata musuh. Terutama karena pakaian mereka yang aneh dan tak sesuai di zaman itu. Namun setelah menjelaskan kepada semua orang secara baik-baik (dan berhenti menganggap ibukota kerajaan sebagai tempat syuting) mereka dipersilakan menginap di rumah salah seorang prajurit. Prajurit itu seorang laki-laki bernama Mada yang usianya tak terpaut jauh dari Dara. Mada tinggal bersama adik perempuannya, Dewi, yang menjadi prajurit Aruna, atau prajurit perempuan di Majapahit.

Tentu saja distorsi ini tidak hanya sekadar tamasya ke Majapahit. Dara dan Bagus juga tak sengaja terjebak di dalam konflik yang mengakibatkan perang saudara yang nantinya menjadi salah satu penyebab runtuhnya kerajaan Majapahit. Mampukah Dara dan Bagus kembali ke masa mereka sendiri? Jawabannya tentu saja hanya bisa ditemukan di dalam buku ini!

***

Jarang-jarang saya menemukan buku teenlit bertema fiksi sejarah seperti ini. Saya langsung tertarik dan mencoba membacanya. Idenya memang pasaran sekali. Sudah banyak yang memakai ide serupa baik di film maupun di buku. Tapi, hei, kalau GPU sampai mau menerbitkannya pasti buku ini punya ‘sesuatu’ yang spesial di dalamnya kan?

Saya suka idenya yang sederhana tapi menarik. Tapi jujur saya agak kecewa karena Mada yang dimaksud di sini bukanlah Gajah Mada. Hah… sepertinya saya yang terlalu berharap (-.-;) Kalau dipikir… akan riskan sekali kalau menjadikan Gajah Mada yang legendaris sebagai tokoh utama sebuah novel remaja. Sejarah tentang beliau nyaris tak bisa diutak-atik.

Mbak Ayu Dewi sudah menerapkan salah satu saran pengarang cerita sejarah yang saya kagumi, yaitu Mas Deddy Arsya. Saya ingat salah satu pesan beliau bahwa kalau mengarang cerita sejarah itu sebaiknya pilih bagian sejarah yang ‘fleksibel’ maksudnya utak-atiklah bagian sejarah yang samar, yang tidak pernah disebut dalam buku-buku sejarah. Kalau kita mengutak-atik bagian sejarah yang sudah konkrit, semisalkan sejarah tentang Gajah Mada, bisa dipastikan karya kita sangat riskan, karena semua orang sudah mengenal siapa itu Maha Patih Gajah Mada, kalau ada mengutak sedikit saja sejarah tentang beliau, sudah pasti bukan hanya orang se-Indonesia yang ngambek, saya pun ikut ngambek hehehe

Contoh sejarah yang fleksibel sendiri seperti sejarah mengenai prajurit Majapahit, seperti yang berusaha diceritakan oleh Mbak Ayu Dewi. Kisah sejarah tentang salah satu prajurit pada masa raja Girindrawardhana tentu saja belum ada yang membahasnya, dan belum tertera di buku mana pun juga. Jadi boleh diutak-atik oleh pengarang.

Yep, back to the topic. Mbak Dewi Ayu lumayan lengkap menghadirkan sisi kerajaan Majapahit tanpa menggurui seperti buku sejarah, lengkap dengan candi, lambang kerajaan, ibukota, perdagangan, dan mata uang yang dipakai pada masa itu. Mbak Ayu Dewi patut diacungi jempol untuk risetnya. Walaupun ada beberapa bagian dialog yang kesannya terlalu dipaksakan. Tapi tak apa, semua itu proses belajar.

Tetapi satu kekurangan kecil yang cukup… kalau menurut saya fatal, adalah nama ayah Mada. Di halaman 176, nama ayah Mada adalah Respati Kertanegara. Sedangkan di halaman 196 nama beliau adalah Respati Jayanegara. Yang benar yang mana ya, Mbak?

Tapi totally, saya memberikan tiga bintang untuk buku ini. Saya harap akan ada novel-novel teenlit seperti ini di masa mendatang. Yah… saya harap juga yang agak berkurang romansanya dan lebih banyak mengangkat sisi sejarah. Tapi ini bagus untuk permulaan. Good job, Mbak Ayu Dewi!

***

For Your Information saja, raja Girindrawardhana adalah raja terakhir di Majapahit sebelum kerajaan besar itu jatuh ke tangan kerajaan Islam. Perang saudara dan meluasnya kekuasaan Islam diperkirakan merupakan penyebab kehancuran kerajaan yang mengalami masa kejayaan saat pemerintahan Hayam Wuruk ini.

Raja Girindrawardhana sendiri bernama asli Dyah Ranawijaya. Beliau memerintah dari tahun 1479-1519 M. Merupakan anak dari Dyah Suraprabhawa. Mbak Ayu Dewo sudah bagus sekali menaruh beliau di dalam cerita. Dan semua info tentang Majapahitnya benar-benar luar biasa.

 

Nama: Diah Sulistiyanti

NPM: 42214964

Jurnal Reader #9

novel the real past

WARNING: TULISAN INI ADA KEMUNGKINAN MENGANDUNG SPOILER. BAGI YANG TIDAK INGIN MEMBACANYA, SILAKAN SEGERA KELUAR DARI HALAMAN INI

The Real Past. Dari kata-katanya, kita tidak akan bisa menebak makna novel ini sebenarnya. Tapi bila ditilik dari covernya, maka kita sudah bisa menebak sedikit isi buku ini. Ada gambar gapura, dua orang remaja yang masuk berpuytar ke dalam pusaran berwarna kuning-jingga. Saya menebak ini semacam perjalanan ke masa lalu ke tempat di mana sebuah kerajaan Hindu-Budha kuno masih berdiri di Indonesia

Yap. Saya benar. Buku ini mengisahkan perjalanan dua orang remaja SMA bernama Dara dan Bagus ke kompleks candi peninggalan Majapahit di Trowulan. Karena kenekatan Dara, mereka berdua terbawa arus distorsi ruang dan waktu hingga menyasar ke kerajaan Majapahit di tahun 1498, di masa pemerintahan Girindrawardhana, raja terakhir Majapahit sebelum akhirnya takluk saat masa kerajaan islam di Nusantara.

Jujur saja, saya berdebar-debar membaca novel ini apalagi setelah Dara memasuki distorsi ruang dan waktu dan mendarat di Wilwatikta, ibukota kerajaan Majapahit. Deskripsinya meskipun tak lengkap, sudah mampu memberikan efek tegang, membuat saya bisa berimajinasi tentang seperti apa hutan di masa itu.

Deskripsi yang cukup keren untuk sebuah novel perdana. Saya harus katakan saya salut pada Kak Ayu Dewi. Meski novel ini mengandung romansa, bahasanya dikemas tak terlalu berbunga-bunga. Yah bagi laki-laki pasti masih terlalu lebay. Tapi bagi perempuan seperti saya, perasaan yang dirasakan Dara sangatlah wajar. Masih dalam batas kewajaran, baik perasaan menggebu-gebunya maupun caranya mendeskripsikan perasaan yang dia rasakan saat itu.

Untuk sebuah novel berlatar sejarah yang memadukan unsur teenlit ke dalamnya, saya harus salut. Meski sudah ada yang mengangkat tema serupa, banyak mungkin malah, tema ini sudah jarang dilirik sekarang ini sejak maraknya novel-novel terjemahan yang merajalela. Novelis-novelis kita seolah malu untuk mengangkat tema dalam negeri. Padahal coba bayangkan kalau misalnya di salah satu candi di Trowulan benar-benar ada lorong mirip sumur yang diceritakan di novel? Bukankah itu keren?

Maka dari itu saya sangat merekomendasikan novel ini bagi remaja yang ingin mencoba nuansa baru di pernovelan remaja Indonesia. Saya belum selesai membaca novelnya saat saya menulis post ini, tapi akan segera saya selesaikan dan saya akan tulis pendapat saya selengkapnya berikut reviewnya.

Jurnal reader #6: Omen 5: Kutukan Hantu Opera

WARNING: TULISAN INI ADA KEMUNGKINAN MENGANDUNG SPOILER. BAGI YANG TIDAK INGIN MEMBACANYA, SILAKAN SEGERA KELUAR DARI HALAMAN INI
Aku baru saja selesai membaca Omen #5: Kutukan hantu Opera. Harus kukatakan, Kalex mencoba mematahkan garis batas bagi seorang pengarang untuk memaparkan sebuah cerita. Biasanya—umunya, wajarnya—pengarang paling banyak hanya menggunakan tiga sudut pandang dalam menceritakan kisahnya. Tapi Kalex mencoba melampaui itu dengan menuliskan lima sudut pandang, mewakili lima tokoh utama wanita dalam cerita ini. Yah, bukannya itu gagal sih. Malah itu sangat berhasil.
Ia membawakan kisah kelima Omen series ini sama seperti sebelumnya, hanya saja… aku masih sulit membedakan mana sifat Aya dan Rima. Mereka berdua punya sifat yang hampir mirip. Untuk Putri dan Erika, well… mereka hanya berbeda di satu aspek: Erika punya pembendaharaan sumpah serapah yang lebih banyak ketimbang Putri.
Meski agak bingung dengan banyaknya sudut pandang dan mencium adanya usaha ekstra dari Kalex untuk membuat setiap tokohnya memiliki peran di sini, aku tetap enjoy saja membaca buku ini.
Walau agak kecewa karena misteri yang dihasilkan agak tenggelam oleh drama masing-masing tokohnya, aku lebih dari terpuaskan dengan misteri yang terungkap di buku ini. Banyak yang tak pernah terpikirkan olehku akan ada di buku ini. Semua tokoh memang punya porsi tampilan dan fungsi sendiri dalam cerita ini. Tak ada yang tak penting, um… kecuali untuk Pak Rufus dan Bu Rita yang memang sepertinya hanya wara-wiri di setiap sekuel saja sih. Hehe… :p
Yang tak kusangka, ternyata ada benang merah yang menghubungkan masing-masing tokoh. Dan yang membuatku lega adalah, sifat Valeria membaik di akhir buku ini. Aku lega. Setidaknya rasa kesalku dengan tuan puteri-tak-mau-diatur itu akan sedikit berukurang. Tapi aku jadi bertanya-tanya, apa itu akan mengubah keputusannya tentang Leslie?
Untuk Erika sendiri, well karena dia bukan pemecah kasus utama dalam sekuel ini, porsinya sedikit dikurangi. Agak berat hati juga sih. Erika itu karakter favoritku setelah Rima. Menghabiskan satu bab tanpa sumpah serapah darinya seperti makan nasi goreng tanpa kerupuk, habis sih… tapi ada apa gitu yang kurang.
Pputri Badai punya tempat tersendiri di sini. Oke, sekarang aku jadi menyukainya. Selain tempramennya yang sama buruk dengan Erika—dia akan jadi kembaran Erika seandainya mulutnya itu hobi ber-gue-elo ria, lebih mirip dibanding kembaran Erika sendiri, Eliza—Putri angkuh serba bisa menyuruh orang apa saja itu ternyata tetaplah manusia biasa. Ia bisa menangis, kesepian, merana, dan bisa merasa lemah juga. Bukannya ia tak pernah lelah, ia hanya tak mau menunjukkan itu di depan lebih dari puluhan orang yang bisa menusuknya dari belakang kapan saja. Yang pernah melihat sosok lemahnya selain keluarga tentu saja adalah Aya dan Rima. Aku tersentuh oleh perasaan Putri yang diaduk-aduk oleh Damian, tapi tetap saja… tak ada yang bisa mengalahkan rasa sukaku pada pairing nomor satu di novel ini, alias Erika Guruh dan Viktor Yamada.
Pokoknya, bagi para penggemar Omen Series, jangan melewatkan sekuel yang satu ini deh. Itu kalau tak mau speechless saat membaca sekuel keenamnya yang masih dalam wishlistku.

Jurnal Reader #5: Omen 4: Malam Karnaval Berdarah

WARNING: TULISAN INI ADA KEMUNGKINAN MENGANDUNG SPOILER. BAGI YANG TIDAK INGIN MEMBACANYA, SILAKAN SEGERA KELUAR DARI HALAMAN INI

Omen ke-4 sudah rampung kubaca. Oke, tak banyak aku akan berkomentar di halaman ini, terutama karena sekuel Omen yang satu ini dipenuhi adegan romantis yang bukan jadi favoritku, terutama di saat hatiku sedang ingin menyaksikan aksi berdarah-darah sadis, jadi aku tidak ingin panjang lebar soal romantisme itu.

Hal pertama yang akan kubahas di sini adalah sudut pandang. Di sekuel ini, Kalex mereduksi sudutpandang menjadi dua orang saja, yaitu Daniel Yusman dan Rima Hujan. Preduksian ini membuat cerita jadi lebih fokus, lebih intim, dan membuat para pembaca bisa lebih menyelami pikiran tokoh-tokoh yang diceritakan. Meski sempit, jumlah sudut pandang ini yang paling kusukai dari sekian banyak novel. Sempit, tapi tak menutup mata dan telingaku dari apa yang terjadi di sekitar.

Cerita kali ini menarik karena selama ini cara berpikir Daniel tak pernah dijabarkan secara mendetail. Ternyata Daniel lumayan manis juga kalau bertutur kata. Rima juga ternyata pribadi lembut yang lemah tak berdaya, namun berusaha dengan apa saja yang ia punya untuk tetap kuat dan bertahan. Gadis yang jadi favoritku.

Ngomong-ngomong, muncul tokoh antagonis kita di sekuel ini. Eng ing eng, dialah Eliza Guruh yang sudah lama tak terdengar kabarnya sejak akhir buku pertama. Belum lagi masalah karena di evil twin kembali, Nikki yang bermulut bak kuchisake onna pun menambah ruyam masalah. Gadis manipulatif itu seperti punya motif tertentu di balik semua tindak-tanduknya.

Sayangnya, kejahatan yang sepertinya cuma menang heboh doang dan drama yang porsinya ekstra banget di sekuel ini membuatku rada bosen membacanya. Untung Rima yang dibahas, kalau Valeria, mungkin akan butuh waktu satu bulan bagiku untuk merampungkan novel ini. Cara berpikir Rima bagiku adalah penyegar di drama ini. Dia polos, jujur, dan gadis yang paling sopan tata bahasanya dari kelima tokoh utama perempuan di novel ini.

Oke, singkat kata, pasangan ini jadi pasangan favoritku yang lain setelah Erika dan Viktor. Tapi aku penasaran dengan hubungan Aya dan OJ. Apakah masih akan berlanjut?

 

Review Omen #3: MIsteri Organisasi Rahasia The Judges

omen #3

Judul: Omen#3: Misteri Organisasi Rahasia The Judges

Pengarang: Lexie Xu

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama

Tahun Terbit: 2013

Tebal Halaman: 306 halaman

 

Omen kembali! Kini dengan tiga sudut pandang berbeda dalam satu novel! Melibatkan Erika Guruh dan Valeria Guntur yang sudah akrab di telinga pembaca sejak buku pertama. Selain itu, akan ada tokoh baru, yaitu Rima Hujan yang mulai muncul sejak buku kedua. Gadis horor itu kini menjadi salah satu tokoh utama di buku ketiga, bersama kedua pahlawan lama kita.

Di SMA Harapan Nusantara, dibagikan belasan undangan misterius kepada siswa-siswi pilihan. Isi undangan itu menyatakan bahwa si penerima telah diundang dalam acara seleksi Organisasi rahasia The Judges yang digadang-gadang punya kekuasaan mutlak di SMA Harapan Nusantara. Konon, pernah ada sekelompok guru berserta kepala sekolah dan para orang tua muri yang menentang adanya organisasi ini. Namun keesokan harinya, penentangan sudah berhenti. Anak dari para orang tua yang menentang itu semuanya dikeluarkan, bahkan susunan guru dan kepala sekolah diperbarui.

Melihat kesempatan untuk menguasai sekolah, Erika dan Valeria tertarik untuk ikut seleksi ini (Selain karena ancaman akan dikeluarkan bila tak memenuhi undangan tersebut) Sedangkan Rima, dia murni ikut karena sudah diundang (bukan berarti dia mau)

Seperti dua buku sebelumnya, ada kasus yang terjadi di acara seleksi ini. Dua orang calon anggota ditemukan terluka parah dengan sejumlah paku menancap di tubuh mereka dan lambang The Judges yang dilukis dengan darah. Setelah dua korban pertama, calon-calon anggota yang lain juga terluka, seolah ada yang tak ingin ada seleksi calon anggota baru The Judges. Nah, apakah Erika dkk akan menjadi korban kali ini atau tetap menjadi pahlawan di akhir cerita seperti dua buku sebelumnya?

Omen ketiga ini menghadirkan nuansa berbeda. Suasana yang lebih kelam, mencekam, dan penuh rahasia. Sudut pandang yang dipakai di buku ini berjumlah tiga: jumlah maksimal sudut pandang bagi buku-buku umumnya sekarang demi tak membuat bingung para pembaca.

Untuk ukuran buku yang komleks sudut pandangnya (dibawakan oleh tiga karakter yang berbeda jauh) Ka Lexie Xu berhasil membawakan buku ini dengan baik. Watak ketiga karakter benar-benar jelas perbedaannya: cara bicaranya, isi pikirannya, dan jalan pikirnya. Rasanya benar-benar seperti memasuki jalan pikiran dari tiga orang berbeda. Ketiga tokoh dapat dibedakan dengan mudah hanya lewat narasi per bab. Twist yang mengejutkan di akhir cerita membuat rasa kecewa setelah tak terlalu terkejut di buku kedua terobati. Aksi dari Valeria dan calon-calon anggota The Judges lainnya juga patut dibaca hingga akhir. Selain itu, romansa yang terselip di antara cerita dapat menjadi penghiburan tersendiri dalam novel misteri ini. Romansa dikemas begitu apik hingga tak terasa memualkan.

Namun, sifat tokoh antagonis yang memilih jalan singkat agak anti klimaks dengan serentetan pemecahan masalah yang sangat seru. Rasanya semua perjuangan Erika, Valeria, dan Rima jadi sia-sia bila tokoh antagonis pada akhirnya mengakui sendiri kejahatannya.

Tapi, buku ini patut dikoleksi bagi kalian yang memang menjadi penggemar Omen dan bagi yang masih baru dengan kisah ini.

 

 

 

 

REview OMen #2: Tujuh Lukisan Horor

omen #2

Judul Buku: Omen #2: Tujuh Lukisan Horor

Pengarang: Lexie Xu

Penerbit: Gramedia

Tahun Terbit: 2013

Jumlah Halaman: 422 halaman

Setelah Omen #1, kini Erika Guruh kembali dalam buku berjudul Omen#2: Tujuh Lukisan Horor. Di buku ini, tokoh yang menjadi pusat konflik adalah Valeria, mengurangi besar-besaran porsi Erika yang sudah banyak memakan halaman di buku pertama. Agaknya ini juga sejalan dengan pikiran pembaca karena di buku pertama, kita semua dibuat bertanya-tanya, seperti apakah sosok Valeria Guntur yang sebenarnya? Seperti apa kehidupannya? Semua dikupas tuntas di buku kedua dari tujuh seri Omen ini.

Beberapa saat setelah Eliza Guruh dipenjara, sekolah SMA Harapan Nusantara kembali normal. Valeria sekarang berteman dengan Erika Guruh dan diam-diam mendirikan grup duo detektif G&G. Erika sendiri hidupnya kembali normal (baca: tetap jadi biang onar nomor satu) tapi kini setidaknya sudah lebih baik.

Suatu hari, mereka berdua dipanggil ke kantor kepala sekolah untuk menyelidiki teror yang diterima oleh sang pemimpin sekolah tersebut. Isi surat itu mengatakan Sang algojo tujuh lukisan horor akan menghukum pelaku-pelaku yang bertanggung dalam tragedi tahun lalu dengan cara-cara yang sudah ditetapkan. Tujuh lukisan horor yang dimaksud di sini adalah lukisan Rima Hujan, sang ketua klub kesenian. Dan lukisan Riam Hujan senada dengan pelukisnya, alias horor banget. Tentu saja kedua murid itu menyetujui untuk menyelidiki kasus ini dengan batas waktu hingga pameran seni sekolah tiba. Artinya mereka hanya punya waktu beberapa hari saja untuk menyelidiki kasus ini.

Penyelidikan mereka berdua mengarah ke segerombolan geng motor. Geng motor pertama yang mereka selidiki adalah Geng Street Wolf, geng motor yang diketuai montir ganteng bernama Leslie Gunawan. Dan ternyata Viktor Yamada, pacar Erika Guruh, merupakan wakil ketua sekaligus sahabat dekat sang ketua. Di tengah penyelidikan itu, timbul perasaan kagum Valeria terhadap Leslie.

Sayang penyelidikan mereka kali ini berbuah kegagalan. Namun ketika pergi ke sarang geng motor lain yang bernama Rapid Fire, mereka menemukan petunjuk. Satu petunjuk mengarah ke petunjuk-petunjuk lain hingga semua puzzle tak berbentuk ini mulai kelihatan tepiannya untuk disusun menjadi satu rangkaian kasus yang masuk akal. Bagaimanakah mereka memecahkan kasus ini? Siapakah Algojo lukisan horor sebenarnya? Lantas bagaimana nasib perasaan suka yang tumbuh dalam diri Val terhadap Leslie yang mendapat tentangan dari ayah Valeria?

Lewat buku kedua ini, kita diajak untuk menyelidiki sang puteri yang menyamar di antara rakyat biasa alias Valeria Guntur. Kita diajak untuk menyelami lebih jauh karakternya, mengapa ia memutuskan untuk menyamar menjadi gadis yang nyaris tak kasat mata di sekolah dan bagaimana latar belakang Valeria yang sebenarnya.

Dibandingkan buku pertama, suasana romantis lebih terasa di buku kedua ini. Hal itu dikarenakan—tak lain dan tak bukan—karena watak Valeria yang memang—meski bengal seperti Erika—lebih feminim daripada Erika Guruh. Namun selain perwatakan bak seorang puteri, Val juga punya sifat akting yang baik, menjadikannya gadis seribu wajah di kisah ini. Ia tak membiarkan dirinya yang sebenarnya tampak di depan orang lain kecuali Erika Guruh.

Dari segi bahasa, cara penceritaan di novel ini lebih “sopan” dibanding buku pertama. Valeria punya cara yang lebih baik dalam hal mengumpat dibanding Erika. Itu menjadikan buku ini dapat ditoleransi bagi bukan penggemar novel teenlit.

Namun, twist yang kurang mengejutkan di akhir ditambah lagi alur yang lebih lambat daripada buku pertama membuat buku ini agak membosankan.

Secara keseluruhan, buku ini layak untuk dikoleksi sebagai pelengkap seri Omen kalian, meski alur lambat dalam buku ini patut diwaspadai. Kalian harus menyiapkan mental untuk melihat lebih banyak romansa di sini.

Jurnal Reader #2: Omen 2 by Lexie Xu

Jujur saja, eksptektasiku saat membaca Omen #2: Tujuh Lukisan Horor, jauh lebih besar ketimbang ekspektasiku saat membaca Omen #1. Terutama, karena kulihat kali ini yang menjadi tokoh sentral di sini adalah Valeria Guntur, tokoh yang hanya menjadi tokoh pembantu di seri sebelumnya.

Di seri sebelumnya, aku tertarik dengan cara pandang Valeria dan kemampuan observasinya yang bagus karena hobinya untuk tampil tak mencolok dan lebih memilih diam dan mendengar ketimbang berbicara tak berguna. Di cerita sebelumnya, Valeria itu kaya, berperilaku bak seorang puteri kerajaan terhormat yang rendah hati, dan setia kawan. Di buku ini kit diajak menyelami kehidupan Valeria Guntur lebih dalam, termasuk mengenal seluruh keluarganya.

Itulah awal mula aku membenci tokoh Valeria Guntur.

Mengutip inti perkataan Erika di buku kelime Omen Series: Kutukan Hantu Opera: Valeria itu punya segalanya: ayah yang baik dan peduli padanya (walaupun over protektif) rumah mewah dan kehidupan yang enak, tapi ia mau membuang semua itu hanya demi tingkah kekanak-kanakannya saja. Benar. Ia mengasingkan diir dari ayahnya hanya karena ingin bebas, karena ingin memberontak dari perintah ayahnya. Ia bilang ayahnya diktator. Valeria merasa pilihannya-lah yang benar. Dan itu sifat yang paling kubenci darinya. Kalau memang merasa pilihannya benar, buktikan, bukannya malah ngambek nggak jelas dan kabur dari rumah!

Tapi, di atas semua itu, aku harus salut pada Kalex. Tak banyak pengarang yang bisa membuatku kesal pada satu tokoh di novel. Selama ini baru ada dua pengarang saja termasuk Kalex yang bisa melakukannya. Beliau berhasil membawaku hanyut ke dalam cerita.

Kekesalanku sedikit terobati karena ada sudut pandang Erika di sini dan satu tokoh baru: Rima Hujan. Tokoh yang lebih sering “menampakkan diri” daripada muncul, alias nongol mendadak di belakangmu. Yah mirip-mirip kuntilanak gitu deh. Tapi ia baik dan malah sering menolong Valeria dengan cara tak terduga. Singkat kata, aku jatuh cinta pada tokoh ini.

Karena aku tak mau dan tak punya banyak komen bagus soal Valeria, kucukupkan dulu jurnalku di sini. Sekian.

 

 

 

 

 

 

 

 

Jurnal Reader #1: Omen 1 by Lexie Xu

 

WARNING: TULISAN DI BAWAH INI MENGANDUNG SPOILER, SILAKAN KELUAR DARI HALAMAN INI BILA TIDAK INGIN MENGACAUKAN ACARA MEMBACA ANDA

 

Pertama kali aku melihat buku Omen Series #1: OMEN karya Lexie Xu adalah saat buku itu pertama kali muncul di pasar. Yah, waktu itu aku tak terlalu tertarik dengan buku-buku teenlit, jadi kuabaikan buku itu.

Buku tersebut baru meraih perhatianku saat muncul sekuel keduanya: TUJUH LUKISAN HOROR. Melihat jumlah buku tersebut yang bukan main-main, aku langsung bertanya-tanya: “Sehebat apa buku ini?” Kemudian aku pun membeli keduanya didorong oleh rasa penasaran yang agak-agak berlebihan.

Kebetulan, Omen Series adalah novel teenlit pertamaku. Sebelum-sebelum ini aku hanya membeli novel-novel terjemahan yang bahasanya bisa dikatakan ketinggian untuk anak remaja, alias kategorinya “Young Adult”.

Alhasil saat membaca lembar demi lembar halaman Omen, aku langsung malas membaca lanjutannya. Kata “lho”, “gue”, (maaf) “Bego”, “tolol”, bertebaran di buku itu mewakili gaya cablak Erika Guruh sang tokoh utama di buku pertama. Perasaanku antara ilfeel karena tak pernah menemukan buku dengan gaya bahasa rada-rada unik begitu sekaligus merasa rugi sudah membeli buku itu.

Sempat menganggur hingga enam bulan lamanya tanpa pernah kubuka lagi halamannya, aku mencoba membacanya lagi. Setelah membuka halaman demi halaman, barulah aku belajar bahwa Erika Guruh bukan hanya siswi super tomboy dengan mulut paling blak-blakan di dunia, tapi juga manusia paling tabah dan paling tegar yang pernah kutemui di buku. Ia tak seperti tokoh-tokoh wanita di novel-novel terjemahan yang kebanyakan karakternya standar dibumbui dengan berbagai kekurangan. Ia karakter perempuan tidak biasa yang punya banyak kekurangan dan berhati rapuh karena digerogoti kesepian dan diskriminasi keras dari sekelilingnya, tapi tak pernah sudi mengeluarkan sisi lemah itu di depan siapa pun. Ia lebih memilih menangis sendirian di sudut kamarnya di tengah malam atau di kamar mandi perempuan sambil memeluk lututnya sendiri. Ketegaran itu akhirnya menyentuhku.

Tak pelak lagi, Erika Guruh menarikku ke dalam lembaran-lembaran novel Omen sampai jauh hingga ke halaman akhir. Ia langsung jadi tokoh favoritku dan mulutnya yang blak-blakan itu jadi hiburan tersendiri. Kisah cinta memang kurang disorot di sini, tapi itulah yang membuat kita sensitif bila ada interaksi tokoh bernuansa romantis. Aku tak pernah tahu isi hati seorang Viktor Yamada. Kenapa ia tertarik pada Erika Guruh? Belum ada penjelasan spesifiknya. Tapi berdasarkan teaser yang diberikan Kalex (panggilan akrab untuk Lexie Xu, pengarang Omen Series dan Johan Series) di buku terakhir Omen Series alias di buku ketujuhnya, akan ada sudut pandang Viktor Yamada. Menarik kan? Kita tunggu saja.

Dan kesimpulan dari jurnal readerku yang pertama ini: Omen Series adalah novel teenlit terbaik yang pernah kubaca.

 

 

 

 

 

Review Omen #1: Omen oleh Lexie Xu

omen #1

Review Omen #1: Omen oleh Lexie Xu

IDENTITAS BUKU

Judul: Omen

Pengarang: Lexie Xu

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama

Tebal Halaman: 312 halaman

Tahun terbit: 2012

 

Penampilan bisa menipu, kira-kira itulah yang ingin diajarkan oleh Lexie Xu di buku terbarunya yang berjudul Omen. Dibuka dengan adegan berlatar sudut pandang Eliza Guruh, novel ini akan membawa pembacanya menelusuri setiap fakta seolah-olah ikut terlibat ke dalam kasus yang dialami tokohnya.

Erika Guruh adalah siswi pembuat onar nomor satu se-SMA Harapan Nusantara. Gadis berpenampilan gothic nyentrik ini menyimpan rasa iri yang sangat besar kepada saudara kembarnya, Eliza Guruh. Eliza dan Erika digambarkan seperti langit dan bumi. Eliza tampil feminim dengan rambut panjang seperti dismoothing, tingkah laku sempurna layaknya seorang puteri, dan menadi siswi populer di sekolahnya sekaligus pacar idaman semua laki-laki. Sementara itu, Erika Guruh, kakak kembarnya, hobi membuat onar di sekolah, melanggar peraturan guru, langganan masuk ruang detensi dan ruang kepala sekolah, penampilan berantakan dan sikap tomboy yang kelewat batas. Pribadi yang bertolak belakang ini membuat mereka berdua mendapat perlakuan berbeda dari semua orang termasuk di keluarga sendiri. Di saat Erika diperlakukan seperti anak tiri, Eliza diperlakukan bagai ratu di mana pun ia berada. Seringkali orang membanding-bandingkan keduanya di berbagai kesempatan, menjadikan Eliza sebagai pemenangnya. Hal ini menimbulkan rasa iri yang mendarah daging pada Erika terhadap saudara kembarnya sampai jauh di dalam hatinya, Erika ingin membunuh Eliza. Suatu hari, Eliza ditemukan sekarat di proyek pembangunan dengan empat pisau menancap di tubuhnya. Seluruh pihak berprasangka bahwa dirinyalah yang mencelakai Eliza karena iri pada gadis itu.Akhirnya Erika menjadi musuh semua orang, bahkan teman-teman Erika yang paling setia pun ragu akan alibinya. Percaya atau tidak, semua fakta mulai mengarah pada Erika dan gadis itu pun mulai percaya bahwa dirinyalah yang mencelakai Eliza.

Kira-kira itulah sepenggal adegan dalam novel terbaru Lexie Xu. Dengan ciri khas berupa genre thriller, Lexie Xu kembali hadir dengan novel seri terbarunya: Omen series, setelah sukses dengan seri pendahulunya, Johan series. Omen sendiri merupakan buku pertama dari keseluruhan Omen series yang direncanakan akan ada tujuh buku. Dengan twist tak terduga, fakta-fakta yang tak ubahnya puzzle yang rumit, dan gaya bahasa ringan khas novel teenlit (remaja), novel ini sangat direkomendasikan untuk dibaca. Terutama bagi yang bosan dengan genre romance atau drama biasa. Ditambah lagi, Lexie Xu sangat pandai menyisipkan sisi romantis tanpa membuat pembacanya mabuk roman. Tingkah laku Erika yang selalu bicara apa adanya—alias tepat sasaran—menciptakan komedi yang cukup menghibur dan tak terkesan memaksa di dalam novel ini.

Namun, bagi yang tidak menyukai gaya bahasa teenlit yang sudah pasti memakai kata “gue”, “elo”, (maaf) “bego”, bahasa gaul masa kini lainnya, sebaiknya tidak membaca novel ini. Gaya bahasa yang kurang estetis akan menjadi pengganggu utama bagi anda yang menyukai gaya bahasa semacam yang digunakan oleh Michael Scott, Andrea Hirata, atau J.K.Rowling.

Di tengah maraknya novel drama dan teenlit yang mengangkat tema serupa, beda lokasi dan tokoh saja, novel Omen ini merupakan warna baru bagi dunia novel teenlit Indonesia. Sebuah bukti bahwa sebuah novel detektif tidak harus serumit Sherlock Holmes dan tidak harus dibawa dalam gaya bahasa kolot. Maka, novel ini merupakan bacaan wajib bagi anda yang ingin nuansa baru dalam novel teenlit.